Senandung Semesta

9 1 0
                                    

Ambang Wicaksana namanya. Laki-laki santun sahabat Kamasku, Prastama Anggara.

Dengan kebesaran hatinya meminangku. Menarikku dari lumpur nista, mengangkatku dari kubangan hina, menyelamatkanku dari lara abadi.

Aku gadis beruntung itu. Pramesti Ambarini, begitulah Bapak ibuku menyematkan nama. Berharap putrinya menjadi perempuan hebat di kemudian hari.

Namun, tak seperti itu adanya diriku. Aku b od o h dan tak layak jadi kebanggaan keluarga. Aku hanya beban bagi mereka. Sebab di usiaku yang ke-24 dua tahun lalu, aku mengalami k eb ut a an.

Sampai saat penyelamat itu datang, masihkah aku tak bersyukur? Lalu sisi mana lagi yang harus ku ingkari? Selain berusaha membenahi diri.

***

Aku duduk di hadapan cermin. Perias memaesku, menyulapku menjadi ratu sehari. Melukis Arabic Henna ditangan dan punggung kakiku. Memakaikanku kebaya panjang dengan jarit Sido Mukti.

Hari ini hari pernikahanku dengan Ambang.

Kudengar ketukan pintu disusul langkah kaki mendekat ke arahku.

"Sudah beres Mbak Ning?" tanya ibuku pada sang perias.

"Sampun, Bu." Sekali lagi Mba Ning menepuk-nepuk puff ke pipiku.

"Bagus."

Lalu Ibu mendekatiku, meremas pundakku lembut, "Wis siap lahir batin, kan, Nduk?"

Aku mengangguk, menumpukkan tangan di atas jemari Ibu. Kurasakan setitik basah jatuh di punggung tangan.

Ibuku menangis. Jantungku bagai diremas tangan tak kasat mata.

Aku berdoa dalam hati semoga itu tangisan bahagia. Setidaknya akan ada seseorang yang mereka andalkan untuk menjagaku kelak.

"Syukurlah, Ibu harap kamu menemukan kebahagiaan bersama Ambang."

"Njih, Bu, Ambar minta doanya."

Aku berpaling ke arah Ibu dan menggerakkan jemariku mengusap air matanya. Ibu mengangguk tanpa suara. Aku tahu air matanya tak lantas berhenti begitu saja.

"Ayo ke luar, sebentar lagi ijab kabul dimulai."

Dengan hati-hati Ibu menuntunku menuju ruang tamu tempat prosesi ijab berlangsung.

Layaknya adat pernikahan di kampungku, Ibu membawaku duduk dalam bilik kelambu terpisah dari calon suamiku.

Dari tempatku, bisa kudengar Pak Naib menyampaikan tanya jawab dan wejangan. Dilanjutkan khutbah nikah dan ikrar ijab kabul dari calon suamiku.

Fasih dalam satu tarikan napas Ambang mengucapkannya. Seruan kata SAH menggema di ruang tamu. Aku tertunduk mengucap syukur. Bahagia sekaligus haru menyelimuti dinding hati.

Air mata yang kutahan sejak tadi berdesakan keluar. Menderas dari kedua sudut mata. Aku tak munafik, aku bahagia. Tuhan masih menyisakan laki-laki baik untuk gadis sepertiku.

"Ayo Nduk, temui suamimu" Ibu membangunkanku dari kekhusyukan mengucap syukur. Ibu menuntunku menemui Ambang.

Ambang mengulurkan tangan membantuku duduk bersebelahan dengannya.

Kuraih tangannya dan kuc i u m takzim. Ambang membalas dengan me n g e c up dahiku sedikit lebih lama.

Aku terhenyak. Ada ketulusan dalam ke c u p a nnya. Segenap perasaan yang dulu sempat kuragukan.

Ya Tuhan, semoga ini bukan mimpi meskipun aku tak yakin masih pantaskah untuk berharap. Aku cukup tahu diri.

***

Kumpulan Cerita Pendek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang