Akan kuceritakan padamu tentang keluargaku. Ada Ayah, Ibu, dan aku. Juga calon adik bayi yang akan hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kata Ibu enam bulan lagi aku akan punya adik.
Lyla dan Shashi bilang punya adik sangat seru. Billy-salah satu teman laki-lakiku-ia juga punya adik. Ia bilang mereka sering b e ra n t e m, tapi akan saling mencari jika salah satu dari mereka tidak di rumah.
Berbeda dengan Indi. Ia terlihat tak suka jika kami membicarakan tentang adik.
Kuabaikan ketidaksukaan Indi. Entah sebab apa ia bersikap seperti itu.
Sebetulnya aku dan Indi tidak begitu akrab. Baru dua kali aku main ke rumahnya. Kebetulan saat itu kami sedang belajar kelompok di rumah Shashi. Rumah Indi dan Shashi berada di gang yang sama.
Indi hanya tinggal bersama ibunya. Shasi bilang Ayah dan Ibu Indi sudah lama be r p i sa h. Mungkin itu alasannya kenapa Indi tak menyukai pembicaraan kami seputar adik.
***
Pagi ini aku berangkat ke sekolah diantar Ayah. Sejak kemarin Ibu sakit. Seharian kulihat Ibu hanya tiduran di kamar. Ayah bilang ke h a m il an Ibu sedikit bermasalah.
Kasihan ibuku. Semoga Ibu dan adik bayi baik-baik saja.
Saat pelajaran Matematika berlangsung, Kepala Sekolah memanggilku ke kantor. Di sana sudah ada Tante Wenny-adik ibuku-ia sengaja datang ke sekolah untuk menjemputku.
Tante Wenny memelukku erat. Dengan terbata-bata ia mengatakan padaku, ibuku terjatuh di kamar mandi. Ibu dan calon adikku tak bisa diselamatkan. Ibuku kehilangan banyak d a ra h, dan sudah terlambat saat dilarikan ke rumah sakit.
Sampai di rumah aku menangis meraung-raung memanggil Ibu. Ayah memelukku dalam diam. Kepergian Ibu sangat tiba-tiba. Aku tahu, pasti Ayah juga merasa sangat kehilangan.
***
Hari ini ulang tahunku yang ke-9. Tepat setahun berselang dengan kepergian Ibu. Semalam Ayah bilang akan memberiku kejutan. Kami akan pergi ke wahana permainan.
Aku senang bukan kepalang. Pasalnya semenjak kepergian Ibu, Ayah tak pernah mengajakku bepergian seperti dulu. Akhir-akhir ini Ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya.
Pukul sepuluh aku dan Ayah sudah sampai di wahana permainan. Ayah mengajakku duduk menunggu di salah satu bangku taman.
Aku menurut meskipun hatiku terus bertanya-tanya. Siapa gerangan yang sedang Ayah tunggu?
Ayah bangkit dan berjalan menjauh. Tampaknya Ayah sedang menerima panggilan telepon dari seseorang.
Beberapa menit kemudian Ayah menghampiriku. Dipegangnya kedua pundakku dan menatapku lekat.
"Bisakah kau berikan lentera dalam hatimu, Nak?"
"Untuk apa, Ayah?"
"Agar semua orang tahu, kau anak yang baik. Bukankah kau ini putri kebanggaan Ayah?"
Aku tertegun mendengar permintaan Ayah.
"Apa harus seperti itu, Ayah?"
Ayah mengangguk mengukir senyum, "Ya, Anna, memang sudah seharusnya seperti itu," tuturnya menyakinkan.
Aku ingin menolak kehendaknya. Sebab tak percaya ada lentera semacam itu di ruang sempit dalam hatiku. Tapi ucapan Ayah begitu meyakinkan. Tatapannya tampak sungguh-sungguh. Dan aku mulai memercayainya.
"Baiklah, Ayah," sahutku menyerah.
Ayah tersenyum, mengusap pucuk kepalaku, "Nah! Benar, kan, kau memang anak yang baik."
***
Lalu kulihat Ayah mengeluarkan p i s au dari balik punggungnya. Benda runcing berkilat itu mulai diarahkannya padaku.
Perlahan d i t an c ap k an nya ke d a d aku. Menembus kaos merah muda bergambar Hello Kitty yang kupakai. Me r o b e k d a g i ng dan mengerat satu-persatu barisan tulang igaku.
"P i sa u yang t a ja m," gumam Ayah.
Aku meringis k e sa k i t an. Tapi Ayah menenangkanku dengan usapan lembutnya di kepalaku.
"Sedikit lagi, Anna ... Bertahanlah sebentar!"
Aku mengangguk, ucapan Ayah adalah penawar rasa sakit itu.
"Berhasil! Ayah sudah menemukan lentera itu, Nak!" ucap Ayah senang.
Pelan-pelan Ayah mengulurkan tangannya. Meraih lentera itu melewati robekan yang baru saja dibuatnya. Ada sebentuk rasa sesal ketika lentera itu lolos dari tempatnya.
Kuabaikan perasaan tak nyaman itu. Sebab pijar cahaya yang memancar dari lentera menyilaukan mataku. Secara bersamaan aku dan Ayah memalingkan wajah.
Cepat-cepat Ayah memasukkan lentera itu ke dalam sebuah kap lampu berbentuk rumah kubus. Pijar cahaya dari lentera itu memantul pada dinding kap lampu. Namun, sudah tidak begitu menyilaukan seperti tadi.
"Terimakasih, Nak," ucapnya.
Lalu Ayah mengambil tempat duduk di sampingku. Memeluk erat-erat kap lampu yang berisi lentera.
Aku mengangguk sebagai jawaban, meskipun rasa sesal itu semakin mengganggu. Tiba-tiba aku teringat ucapan Ayah, tentang kejutan yang ia janjikan.
"Oh ya, kejutan apa yang akan Ayah tunjukkan padaku?"
"Tunggu sebentar. Sebentar lagi mereka akan datang."
Setengah jam kemudian Ayah kembali mendapatkan panggilan telepon. Aku menunggu dengan perasaan gamang sekaligus penasaran yang tiba-tiba muncul.
"Mereka sudah datang. Mereka menunggu Ayah di pintu masuk."
Ayah tampak terburu-buru. Ia bergegas pamit padaku untuk menemui mereka.
"Bolehkah aku ikut, Ayah?"
Ayah menggeleng, "Tidak, Nak, kau tunggu saja di sini sampai Ayah datang!"
"Jangan lama-lama, Yah ... Anna takut sendirian di tempat ini."
Ayah mengangguk, "Hanya sebentar, Anna!"
Lagi-lagi aku mengangguk tak berani membantah ucapan Ayah.
Ayah berlalu meninggalkanku. Kap lampu berisi lentera itu dibawanya serta dalam dekapan.
***
Beberapa menit berlalu. Aku sudah mulai bosan menunggu. Aku berniat menyusul Ayah tapi urung.
Dari ujung jalan kulihat Ayah muncul bersama perempuan seumuran Tante Wenny. Perempuan itu menggandeng tangan anak perempuan seusiaku.
Wajah mereka tampak berbinar bahagia. Kap lampu berisi lentera itu kini telah berpindah ke tangan si anak perempuan.
Aku merasa janggal, lalu bangkit untuk memastikan. Beberapa langkah dari tempatku berdiri dapat kulihat dengan jelas. Indi dan ibunya berjalan bergandengan bersama Ayah. Mereka bertiga tampak tertawa-tawa.
Saat langkah mereka tiba di hadapanku, kupikir Ayah akan menghampiriku. Ternyata dugaanku salah. Mereka bertiga melewatiku begitu saja.
Aku berteriak memanggil Ayah. Berjalan tergesa-gesa mengikuti langkah mereka bertiga. Namun, langkah mereka begitu cepat dan ringan.
Setengah berlari aku menyusulnya. Aku terjatuh sebab tak berhati-hati. Sekali lagi kuteriakkan nama Ayah.
Ayah menoleh sekilas seraya melempar senyum. Aku membalas senyuman Ayah, masih berharap Ayah akan menghampiriku. Namun, nyatanya Ayah justru berbalik dan berjalan meneruskan langkah bersama Indi dan ibunya.
Rasa sakit itu mulai mendera, jauh lebih sakit daripada saat Ayah mengambil lenteraku. Pelan-pelan kusentuh robekan di d a da. Kurasakan robekan itu kini semakin melebar.
Aku menunduk untuk memastikan. Ada rongga yang menganga di sana. Di d a d aku dan di ruang sempit tempat lenteraku semula berada.
Perlahan perasaan itu merambat menguasaiku. Kosong dan hampa.
Selesai