"Buat apa kalian pulang ke sini?" Begitu reaksi ibu Chanyeol ketika putranya bilang ia-dan istrinya-akan kembali ke Seoul.
"Apakah setelah menikah aku tidak boleh pulang ke rumah Eomma lagi?" balas Chanyeol dengan nada terluka.
"Tidak, tidak boleh," sahut ibunya dan tertawa terbahak-bahak.
"Eommaaa," Chanyeol pura-pura merengek.
"Hentikan, kau membuatku geli," sela ibunya dan tertawa lebih keras selama bebrapa saat lagi. "Maksudku, kalian kan belum lama menikah, untuk apa membuang-buang uang untuk pulang-pergi ke sini? Dan omong-omong tentang itu, apakah kalian sudah berbaikan?"
Chanyeol tanpa sadar tersenyum. "Eo," jawabnya.
"Bagus," ibunya mendesah puas. "Itu baru anakku. Jadi, kau mau menceritakan padaku apa masalah kalian?"
Mendadak Chanyeol sadar kalau ibunya tidak sedang membicarakan perang dinginnya dengan Danbi kurang lebih dua minggu terakhir, tapi tentang sikap aneh mereka yang ibunya kira karena mereka sedang bertengkar. Yang benar saja. Ibunya sungguh tidak tahu apa-apa sejak hari itu.
"Eh," Chanyeol menggumam-gumam dan berpikir sejenak, "sebenarnya bukan masalah besar. Aku akan menceritakannya saat kami pulang nanti."
"Aish. Kau tidak perlu pulang hanya untuk cerita, di telepon saja cukup."
Chanyeol terkekeh pelan. Samar-samar, ia mendengar suara dari depan. "Aku juga ingin melihat wajah Eomma," katanya sambil membuka pintu kamar dan mengintip keluar. Selimut putih teronggok di atas sofa, tanpa Danbi. Sorot lembut lampu menimpa lantai tampak dari arah dapur.
Ibunya berdecak di seberang sana. "Ya, ya, terserah sajalah. Kapan kau berangkat?"
"Rencananya hari Jumat depan," jawab Chanyeol sambil berjalan ke arah dapur. Di sana, Danbi sedang berjinjit dan membuka-buka lemari kabinet, sepertinya mencari sesuatu. Chanyeol menjauhkan ponsel dari telinganya dan berbisik cepat, "Danbi-ya."
Danbi menoleh. Wajahnya pucat dan jelas masih mengantuk. "Apa?" tanyanya pelan.
"Baiklah," ibu Chanyeol di ponsel menyahut. "Kabari lagi nanti jam berapa pesawatnya mendarat biar aku dan ayahmu bisa menjemput kalian."
"Araseo," jawab Chanyeol pada ponselnya. "Sudah dulu, ya, Eomma. Di sini sudah hampir jam satu. Aku mau tidur."
"Eo. Jalja~"
"Sedang apa?" Chanyeol bertanya pada Danbi setelah mengakhiri sambungan teleponnya.
"Mencari obat," kata Danbi singkat tanpa menoleh lagi. "Menelepon siapa?"
"Eomma. Memberitahunya kita akan pulang minggu depan," jawab Chanyeol. "Kau sakit?"
"Hanya pusing, jadi tidak bisa tidur," jawab Danbi, lalu berdecak. "Apakah kita tidak pernah menyimpan obat-obatan di sini? Benar-benar payah."
Chanyeol teringat kotak obat mungil yang ditemukannya tanpa sengaja di sudut lemari kabinet paling kiri, jadi ia mengambilnya dan memberikannya pada Danbi. "Ini."
"Ah. Gomapta." Danbi menerimanya dengan cengiran senang, lantas mencari obat yang dibutuhkannya. Ia mengambil sebutir tablet putih obat sakit kepala dan berbalik mengambil segelas air.
"Kenapa kau masih di sini?" tanya Danbi setelah meminum obatnya.
Chanyeol tersentak dan mengerjap-ngerjap. "Eh?"
Danbi meletakkan gelasnya di dalam bak wastafel dan menguap. "Tidur sana."
"Aku, eh, tidak bisa tidur lagi," balas Chanyeol sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, membuat rambutnya semakin berantakan. "Aku mau nonton televisi saja di luar dan menelepon nuna-ku. Kau bisa tidur di dalam kalau mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Years Forwarded
FanfictionRyu Danbi belum mencapai usia tiga puluh, tidak pernah tinggal di luar negeri, dan terutama tidak pernah menikah dengan siapapun. Tapi, itu dulu. Saat ini, ia terjebak di masa mendatang tanpa ingatan apa pun mengenai kehidupannya selama sepuluh tahu...