Barangkali Park Chanyeol benar-benar tertekan dengan tenggat waktu yang mereka miliki, karena pagi itu, ketika Danbi membuka mata—setelah berusaha tidur sampai menjelang subuh—hal pertama yang laki-laki itu katakan adalah, "Menurutmu apakah kita bisa tetap kembali kalau aku membakar tempat ini, atau kita akan diberi tambahan waktu untuk memperbaikinya?"
Danbi yang masih mengantuk, lapar, dan sedih mau tidak mau tertawa juga. "Jangan konyol. Bangun dan bersiap-siaplah."
"Permintaanmu adalah perintah bagiku, wahai Ratu Kegelapan."
Danbi menimpuknya dengan sandal kamar (syukurnya tidak kena seperti biasa) dan berjalan ke kamar mandi diiringi derai tawa Chanyeol.
Dua puluh menit kemudian mereka sudah duduk berhadapan di depan meja makan dengan pakaian rapi dan mengunyah roti panggang, meski tidak satu pun dari mereka berselera makan. Bahkan Chanyeol kehabisan stok lelucon yang lucu untuk menghadapi apa yang akan datang.
"Sudah jam setengah sembilan," Danbi mengumumkan dengan berat hati.
"Yeah." Chanyeol mengangguk enggan. "Sebaiknya kita pergi sekarang. Jalanan pasti macet."
Mereka meninggalkan kursi dan membereskan meja makan dengan gerakan robot. Danbi menyimpan dua lembar tiket pertunjukan teater mereka di dalam tas selempang mungil dan menyampirkannya di bahunya, lantas beranjak menuju pintu apartemen, di mana Chanyeol sudah berdiri menunggunya.
"Kau siap?" Chanyeol bertanya ketika tangannya memegang handel pintu.
Danbi mendengus. "Kita bukan mau pergi berperang."
"Memang, tapi rasanya seperti itu," gumam Chanyeol. "Baiklah. Ayo pergi."
Chanyeol membuka pintu untuk dirinya dan Danbi. Di lift, mereka bertemu dengan bibi berambut putih keperakan itu lagi. Kali ini bibi itu membawa seekor anjing pudel berbulu seputih salju dalam pelukannya.Ketika melihat mereka berdua, bibi itu sontak tersenyum cerah. "Good morning. Such a good day for a walk, isn't it?"
"Yeah," jawab Chanyeol dan tertawa canggung.
"You look a bit pale," komentar bibi itu begitu menatap Danbi.
"Maybe it's because the baby," seloroh Chanyeol.
Danbi tidak segan-segan menyikut rusuk Chanyeol sekuat tenaga, tapi bibi itu sudah keburu tersenyum lebar dan berceloteh memberi selamat, juga dengan semangat memberi saran-saran yang tumpang tindih sehingga baik Chanyeol mau pun Danbi tidak bisa menyimak satu pun.
Mereka bertiga akhirnya berpisah jalan di lantai dasar.
"Aku punya satu pertanyaan," gumam Chanyeol sambil melirik punggung bibi itu di belakangnya. "Sebenarnya, siapa bibi itu? Temanmu atau apa?"
Danbi mengangkat bahu.
"Dia sepertinya akrab dengan kita."
Danbi mengangkat bahu sekali lagi. "Mungkin kita akan tahu di lain kesempatan."
Mereka menaiki taksi menuju Teater Broadway dalam diam. Tenggorokan mereka terlalu kering untuk bicara. Sementara jalanan padat pagi itu, mereka diam-diam sama-sama menghitung waktu dalam hati.
Sembilan belas menit lagi.
Lima belas menit.
Tiga belas.
"Kurasa aku belum mengatakan ini," kata Danbi cepat. Ia tidak tahu apakah pengap taksi yang membuatnya merasa mual saat ini. "Dulu aku juga tidak adil karena bersikap menyebalkan padamu setiap kali kita bertemu. Untuk itu, aku minta maaf. Tapi aku benar-benar peduli padamu. Jadi, jika setelah kita kembali nanti kau membiarkan Jinhye terus menyakitimu—seperti yang kau katakan semalam—aku akan menggigit putus telingamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Years Forwarded
FanfictionRyu Danbi belum mencapai usia tiga puluh, tidak pernah tinggal di luar negeri, dan terutama tidak pernah menikah dengan siapapun. Tapi, itu dulu. Saat ini, ia terjebak di masa mendatang tanpa ingatan apa pun mengenai kehidupannya selama sepuluh tahu...