PODCAST 8

32 6 1
                                    

"Kemudian Mbah Kardi berdiri di hadapan ibu dengan tatapan tajam."

"Dari dekat ibu bisa menyaksikan mata keruh milik Mbah Kardi yang memiliki tubuh tegap dengan kulit gelap, ditambah kumis tebalnya yang semakin terlihat galak. Ibu jadi risi saat ditatap begitu oleh Mbah Kardi."

"Iya, betul. Mana berdua lagi di rumah itu."

"Lantas?"

"Siapa perempuan yang ingin merebut Pak Wongso, Mbah?"

"Entah, Nduk. Mbah tidak tahu semua ceritanya. Jawab Mbah Kardi."

"Kemudian ibu melihat Mbah Kardi membongkar kardus yang berisi perabotan dapur."

"Waktu itu ada sedikit perasaan kasihan di hati ibu melihat Mbah Kardi harus menggotong barang-barang yang masih juga belum semuanya beres."

"Dulu apa Mbah Kardi juga bekerja di sini? Tanya ibu yang makin penasaran dengan itu semua."

"Iya, Nduk. Mbah lama bekerja untuk keluarga Wongso. Jawab Mbah Kardi."

"Apa Mbah Kardi hidup sendiri di rumah pembantu itu? Ibu mengerutkan dahi menunggu jawaban apakah Mbah Kardi hidup dengan istrinya."

"Pasti Mbah Kardi tahu banyak akan cerita penghuni rumah itu bila benar dia lama mengabdi untuk keluarga Pak Wongso."

"Ada benarnya dugaan, Pakde."

"Lantas? Apakah Mbah Kardi bercerita dengan ibumu mengenai keluarga Pak Wongso?"

"Awalnya begitu. Paling tidak, ibu bisa bertanya sesuatu yang dirasa aneh atau pertanyaan yang tak bisa dijawab untuk beberapa kejadian yang ibu anggap ganjil di rumah itu, Pakde."

"Namun, sayang Mbah Kardi tak menjawab dan lebih memberitahu kepada ibu tentang siapa Mbah Kardi di keluarga Pak Wongso."

"Sepertinya Mbah Kardi tak mau ibu mengetahui lebih dalam perihal kematian istrinya Pak Wongso. Mbah Kardi hanya menceritakan kepada ibu siapa dirinya."

"Menurut cerita ibu kurang lebih begini ...."

"Mbah Kardi adalah lelaki paruh baya yang menempati rumah di sebelah rumah besar itu, rumah yang dibangun Pak Wongso sejak istrinya Mbah Kardi meninggal."

"Oalah? Rumah pembantu yang kamu datangi itu ternyata sudah ada dan dibangun untuk Mbah Kardi setelah istrinya meninggal. Karena bekerja pada Pak Wongso maka dibuatkan rumah khusus pembantu."

"Mungkin anggapan Pak Wongso kala itu kasihan dengan Mbah Kardi yang hidup sendiri."

"Mungkin begitu pemikiran Pak Wongso saat itu, Pakde."

"Lantas?"

"Mbah Kardi bekerja di keluarga Pak Wongso sejak keluarga itu menempati rumah yang dulu juga dibeli."

"Apa! Rumah yang ditempati ibumu adalah rumah Pak Wongso yang juga didapat dengan membeli?"

"Benar, Pakde."

"La itu surat tanah kok bisa atas nama Pak Wongso bila Pak Wongso sendiri juga membeli rumah itu, ha? Kalau memang benar apa yang dikatakan Pak Wongso bila Kawasan Hutan Produksi tidak bisa dibuat surat atas sebidang tanah, kenapa Pak Wongso bisa membuatnya?"

"Walah! Ini makin mencurigakan."

"Mungkin Pak Wongso bisa membuat surat atas tanah dan rumah itu di saat daerah itu belum diputuskan menjadi Kawasan Hutan Produksi, Pakde."

"Bisa jadi juga. Yang pakde tahu Kawasan Hutan Produksi statusnya bisa berubah saat ada pembebasan lahan dan akan dijatuhkan status Kawasan Hutan Produksi di tempat lain untuk memenuhi luas kawasan dalam penataan ruang dan tata kota."

𝗥𝗨𝗠𝗔𝗛 𝗜𝗡𝗜 𝗗𝗜𝗝𝗨𝗔𝗟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang