Saat sampai di depan rumah, kulihat motor Bang Reihan terparkir. Aku membuka pintu dengan kecurigaan yang memadat, rasanya gagang pintu itu begitu terasa berat. Perlahan mendorongnya. Di ruang tengah Bang Rian bersama ibu dan Bapak tengah serius bicara, menyadari kedatanganku, Ibu berucap."Tuh dia pulang."
Seketika Bang Reihan dan Bapak menatapku.
"Abang kapan datang?" Tanyaku langsung menghampirinya.
"Tadi siang. Kamu sehat Dek?"
"Aku sehat, Bang."
"Kamu ganti baju dulu sana, kami ingin bicara serius!" Ucap Bapak. Tanpa menjawab, aku berlalu masuk kamar. Setelah berganti pakaian langsung menemui mereka. Aku duduk diantara Bapak dan Bang Reihan.
"Gimana kuliahmu,Dek?" Tanya Bang Reihan
"Baik, Bang."
"Syukurlah. Abang harap kamu lebih serius lagi belajar ya!"
"Iya, Bang."
"Dek! Ada banyak yang ingin Abang tanyakan sama kamu. Bapak bilang kamu berbohong soal kerja di Cafe. Tolong jelaskan apa maksudnya? Dan darimana kamu bisa membayar uang kuliah juga membeli banyak barang-barang mahal?" Tanyanya beruntun
Pertanyaan itu bagai pukulan keras yang dengan seketika menghantam jantung. Apa yang harus aku katakan? Tatapan Bang Reihan saat mengatakannya, seperti sebilah pedang yang menusuk dalam hati ini. Sungguh aku tidak bisa berbohong. Tapi jika jujur, aku tidak ingin Bapak dan ibu mendengarnya."Kenapa kamu diam Ian? Tanya Bapak melihatku terdiam demikian rupa.
"Jawab Ian?" Tanya Bang Reihan kemudian. Dia mengamati begitu dalam perubahan raut dan warna mukaku. Warna merah yang dapat ditafsirkan olehnya sebagai kekalutan hati dan pikiran yang datang seketika sesaat setelah pertanyaannya itu menyentuh syaraf-syaraf pendengaranku.
"Aku bisa menjelaskan semua ini, tapi tidak sekarang!" Jawabku berusaha menguasai keadaan dan perasaan yang sungguh tidak karuan.
"Maksudmu apa Ian?" Tanya Bapak, dia tidak mengerti
"Kapan kamu bisa menceritakannya?"Tanya Bang Reihan lagi.
"Sampai aku siap." Kataku
"Kamu ini kenapa Ian? Mau bicara aja berbelit-belit." Bentak Bapak.
"Sudahlah,Pak, kita beri waktu Ian." Timpal Bang Reihan. Sifatnya menurun dari ibu, lembut, penyabar, namun ia akan sangat tegas jika sudah menyangkut prinsip.
"Iya,Pak, biarkan saja dulu Ian. Mungkin dia perlu waktu." Ujar ibu
"Begini saja Ian, lusa kamu ke rumah Abang ya! Kita bicara disana." Usul Bang Reihan. Aku mengiyakan.
Aku bagai berjalan di lorong yang amat sempit, gelap dengan banyak sekali cabang. Haruskah mengatakan semuanya? Lalu apakah mereka akan menerima apa yang telah terjadi? Tuhan! Berilah aku jalan yang terbaik!
Aku menelepon Om Fauji, membicarakan soal Ancaman Niko. Dia tersentak kaget. Aku memintanya untuk pulang. Namun jawaban yang Om Fauji berikan sungguh membuat kecewa
"Om tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini, maaf. Begini saja untuk sementara kamu jangan ke rumah kita. Soal Niko biar itu jadi urusan Om.
"Tapi,Om! Dia mengancam."
"Sudahlah, kamu jangan takut. Om tinggal dulu ya!" Om Fauji mematikan sambungan teleponku.
Kenapa dia seperti ini? Tanyaku pada diri sendiri. Keraguan mulai muncul apakah Om Fauji tidak mencintaiku lagi? Apakah memang dia hanya ingin kesenangan sesaat dariku?
Saat hendak pergi kuliah, aku dikejutkan dengan kedatangan sebuah paket misterius. Aku membuka bungkusnya dengan perasaan cemas. Dan isinya sungguh membuatku takut, surat yang ditulis dengan tinta merah itu berisi sebuah ancaman dari Niko. Darimana dia tahu rumahku? Tanyaku dalam hati

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cintaku Bersama Bang Rian Sang Kuli Season Dua Pencarian Jati Diri
RomanceSetelah Putus dengan Bang Rian, Julian memulai kembali petualangan cintanya. Om Fauji adalah seorang duda beranak satu yang Julian kenal lewat aplikasi kencan. dari perkenalan itu, mereka akhirnya menjalin hubungan. namun tak dinyana, dari hubungann...