MPLS

13 2 0
                                    

MPLS (Masa Pengenalan Sekolah) atau bahasa keki pada zaman dulu, yaitu ospek sekolah. Mirip-mirip, tapi lebih moderen. Menurutku sih begitu. Kegiatan ini kulakukan saat bulan Juli 2019.

Aku yang sangat tidak awam saat itu masih bingung dengan istilah MPLS. Ya, sebab belum pernah ada saat SD dulu.

Hari pertama masuk SMP, aku masih di antar oleh ortu. Masih seperti anak kucing yang baru dilepas keluar dari kandang oleh induknya, hingga akhirnya aku mencari teman-teman dari se-SD yang sama. Alhamdulillah-nya sih ketemu. Kalo gak, mungkin speaker sekolah bakalan mengumandangkan pengumuman mengenai anak ilang.

Sabar itu sekitaran jam 10 pagi. Terlalu siang, bukan? Ya, saat itu panasnya sedang terik-teriknya.

Bermodalkan informasi dari WhatsApp grub ortu, aku langsung berbaris di tempat yang kemungkinan menjadi kelasku nantinya.

Jujur aku senang karena saat itu aku sekelas dengan Icha (kembar 3). Jadi aku tak sendirian.

Bahkan aku juga sekelas dengan Najwa (Wawa) yang merupakan teman kecil sekaligus tetangga dekat rumah. Terhitung sekitar 11 langkah saja untuk mencapai rumahnya.

Awalnya malu-malu untuk ngobrol bareng Wawa, eh...akhirnya kebablasan sampe kelar MPLS. Kayanya.

Seperti waktu yang di tentukan sekolah. Saat masih rajin-rajinnya, aku berangkat ke sekolah jam 10, padahal pembiasaan di mesjid saja sekitar jam 12. Jelalahnya pada hari pertama sekolah, aku sedang halangan. Jadi aku inginnya nunggu di luar, eh ternyata harus ikutan masuk.

Sempat ku berpikir setelah melakukan hal konyol dengan datang jam 10. Kok bisa rajin banget ya udah berangkat jam segitu. Padahal mah masuk jam 11.

"Kerajinan lu Jur. Taran aja berangkatnya. Mepet dikit. Rumah lu Deket rumah ini juga," kata temanku.

Ya, benar. Akhirnya aku menerapkan hal itu keesokkannya.

Hal yang ku ingat saat itu, sosialisasi pertama di lakukan oleh Ibu Siti yang merupakan guru mapel PPKN. Beliau orangnya lucu. Bahkan seisi kelas bisa riuh saat dirinya mengeluarkan candaannya.

Bahkan ku berharap semoga nantinya walasku adalah dia. Dan ternyata pikiranku salah. Kenyataannya kelas yang sekarang ku tempati ini (kelas 7-F), merupakan kelas sementara.

"Eh, Jura. Kenalin nih, temen yang baru gw kenal. Namanya Ayumi," Wawa tiba-tiba memperkenalkan sesosok gadis berhijab yang menurutku lumayan cantik.

Seperti biasanya, aku hanya bisa menjawab Sapaan itu. Tanpa tahu, kelak mungkin dia akan menjadi musuh yang merebut crush ku.

"Eh, btw. Nama lu tuh unik tau. Kaya nama Jepang. Lu ada keturunan Jepang ya, Yum?" Aku penasaran.

"Gak kok," sanggahnya.

"Apa jangan-jangan Mak lu Wibu ya? Pecinta Naruto," temanku ikut nimbrung.

"Ya kali," jawab Ayumi.

Lucu, sangat lucu. Hanya perkara nama saja kami tertawa. Di tambah ada satu teman laki-laki di kelas itu yang namanya Ainun. Sontak aku bingung. Apa tadi dia cakap? Namanya mirip perempuan. Entahlah, bagaimana konsep ortunya memberi nama dirinya. Mungkin karena itu, ia menjadi orang yang unik.

Satu hari (dimulai dari Senin) itu sangatlah membosankan. Bayangkan, hanya pengenalan sekolah saja, kami harus pulang sore. Hey, ini kan panas. Masuk sekolah siang-siang bawaannya juga ngantuk lagi.

Di tambah kamu harus melaksanakan apel sebelum pulang terlebih dahulu. Di tambah demontrasi setiap ekskul yang ada di sekolah.

Aku ingat, saat hari pertama itu ada ekskul paskibra dan taekwondo yang di pamerkan. Aku terkesan. Mereka sangatlah luar biasa. Namun, aku tak tertarik untuk join.

Derita Menjadi Ketua KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang