Tiba-Tiba Naik Kelas 8

6 2 0
                                    

Ada sebuah candaan yang pernah gw dengar di antar teman. "Rasanya kemarin baru masuk sekolah. Eh, tiba-tiba sudah naik kelas".

Kata-kata itu, seperti sebuah Boomerang yang berputar arah kepada kami.

Kenapa kami? Karena...kelas tak di acak samsek. Sumpah ye, Napa gak di acak coba. Dia lagi, dia lagi. Percuma gw nangis kemaren.

Lalu, kami kedatangan anak baru. Totalnya ada 3 anak. Yaitu, Ayub, Chiko, dan Diah.

But, why Ayub? Nah, itu dia. Ane gak ngarti. Dari sekian anak yang harus masuk ke shadoet dan menjadi pengganti anak-anak urang. Napo malah Ayub.

Si dablek alumni SD gw loh itu. Aduhh. Nih lagi, Chiko. Temen main Ade gw yang katanya dulu anak alumni SD 03. Yang bener aja cok, jadi perkumpulan anak brandal yang masuk.

Mereka ini menggantikan posisi Yanu, Raziq, Azka, dan Alisa. Gadis berkacamata itu harus pindah sebab pekerjaan orang tuanya. Lalu Alisa pindah ke pondok pesantren. Kalau Yanu dan Raziq...tidak ada keterangan.

Lalu menyusul lah Mutiara yang beberapa saat kemudian dinyatakan pindah sekolah. Hingga posisi anak-anak yang harusnya 36, jadi kosong 2.

Banyak yang berubah. Dan gw harus bisa beradaptasi lagi dari awal.

Bagaimana tidak. Suasana belajar tak seseru dulu. Kami berpisah dan terpaut jarak antara teman serta guru. Hanya karena sebuah pandemi virus, kami jadi terpecah-pecah.

Sebutan kerennya saat dulu adalah PJJ (Pelajaran Jarak Jauh). Ku kira asik, nyatanya tidak. Bosan, tak bisa keluar kemana-mana. Paling hanya beberapa orang saja yang boleh keluar, itupun harus menggunakan masker.

Serius, mungkin lebih banyak problem dari pada senangnya. Entah perkara kuota hp lah, gak punya hp lah, sinyal ilang. Dan hal yang paling gw benci dari pjj adalah...zoom meet. Satu program yang menguras banyak kuota. Gw yang suka hemat merasa tertekan dengan hal itu.

Pernah ada program kuota gratis dari pemerintah. Sayangnya, gw bingung menggunakan hal itu untuk apa. Sementara kuota gw juga masih ada.

Kalau di tanya hangus...memang hangus, sebab tak di habiskan. Sayang sekali.

Ah, baru inget. Cara pemilihan ketua kelas kali ini gaje banget. Bayangkan, "Nak, siapa ketua kelas kalian kemarin saat kelas 7?" Wali kelas baru kami, yaitu Pak Alwan (guru mapel Agama Islam) bertanya.

"Saya Pak," jawab gw dengan santai saat itu di WA grub.

"Kalau wakilnya?" Beliau bertanya kembali.

"Zayid Pak," jawabku lagi.

"Ok, berarti yang jadi ketua kelas sekarang Azura sama Zayid ya"

Bentar, gw gak paham. Jadinya maksud ente, ane jadi ketua lagi? Gak ada voting gitu?

"Wah, setuju tuh Pak"

"Nah, emang bener dah tuh yang jadi ketua adalah Azura"

"Dah, gak usah di ganti Pak"

Woy, woy, woy. Weh, gak gitu juga penghuni 8C, ane kagak siap. Pakkkkk.

Hah, entahlah. Gw bingung harus gimana. So, akhirnya gw cuman bisa curhat Ama sahabat baru gw dari kelas 7 semester 2, yaitu Ishna.

Kami memulai hubungan baik secara pelan-pelan. Berawal dari teman biasa, dan akhirnya dia menawarkan persahabatan. Gw yang merasa nyaman serta cocok langsung menerimanya.

Seru juga berbagi pengalaman dengannya. Hal rendom pun bisa jadi besar dengan cepat bila kami bertukar pesan di chat.

Umy ku bilang sejak lama. "Mbak, jaga Ishna baik-baik. Dia anaknya istimewa. Jadi kalau ada apa-apa, kamu harus sigap".

Derita Menjadi Ketua KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang