07

5.3K 662 74
                                    

Tumben sekali semuanya berkumpul, biasanya rumah besar ini sepi sekali. Yang berisik hanya Levin dengan seperangkat video game yang sering distel ke speaker besar.

Tapi makan malam kali ini berbeda dari biasanya, semuanya sedang berkumpul. Ada ayah, abang, anak kedua dan anak ketiga.

Semuanya sedang asik mengunyah makanan masing-masing hingga sang kepala keluarga meletakkan sendok dan menatap ketiga anaknya.

"Ayah mau kerja sama sama temen ayah pas masih SMA. Kita mau bangun bengkel. Kebetulan dia lagi kesusahan karena bengkel di kota sebelah habis di lalap api." Ucapnya menunggu reaksi dari ketiganya. Namun anak-anaknya hanya menatap sambil mengunyah tanpa menjawab.

"Kalau bisa ayah minta bantuan Ervin, kamu mau bantu?" Tanyanya. Beralih memandang anak sulungnya.

"Bantu apa dulu?" Tanya Ervin balik.

"Jadi montir sekalian kamu belajar disana. Udah semester 6 kan? Praktekin langsung supaya nanti lulus langsung mahir."

Dahi Ervin berkerut samar, berpikir sebentar untuk menimang permintaan sang ayah. Kalau di ingat-ingat memang lumayan. Dia bisa minta pklnya di bengkel sang ayah saja supaya gak repot.

"Boleh, deh. Dipegangnya sama ayah atau temen ayah?"

"Temen ayah, ayah cuma nanam modal aja. Dia juga montir yang udah berpengalaman. Kamu bisa belajar dari dia."

Ervin mengangguk setuju. Kembali melanjutkan makannya.

"Tumben ayah mau nanam modal di usaha kecil begini." Celetuk Kevin tanpa memandang.

Ayahnya terkekeh pelan lalu minum terlebih dahulu sebelum menjawab.

"Dia temennya ayah pas sekolah menengah. Kita dulu akrab banget tapi putus kontak pas dia lebih milih langsung kerja apalagi pas mutusin mau nikah. Ketemu lagi sebulanan ini. Dia minta tolong buat nyelesein masalah bengkelnya yang kebakar. Soalnya udah rugi ratusan juta padahal bengkel baru. Daripada cari bantuan ke bank atau yang lain mending ayah yang tanggung terus dia buka cabang baru di kota ini biar bengkel di kota sebelah dijual aja." Jelas sang ayah.

"Emang ayah bakalan untung?" Tanya Levin.

Sang ayah tertawa pelan sambil menggeleng, "untung enggak kan namanya juga usaha. Kalau bisnis ya gitu. Ayah gak masalah kalau modal doang yang balik bukan keuntungannya. Sekalian bantu temen kan gak bakalan bikin bangkrut perusahaan ayah."

Ketiga anaknya mengangguk paham, satu persatu menyelesaikan makan mereka lalu berkumpul di ruang tengah.

Kepala keluarga sibuk dengan ipadnya, anak sulung dengan laptopnya, anak kedua dengan catatan pelajaran kalau anak ketiga rebahan di karpet dengan ponselnya.

"Yah, boleh minta mobil gak?"

Levin menengadah tanpa bangun menatap ayahnya dari tiduran.

"Mobil? Tumben? Kamu kan punya 4 motor, mau diapain mereka?"

"Bosan ah, kasian pacar Levin nanti kepanasan kalau naik motor terus. Ayah jual aja dua terus beliin mobil." Levin kembali fokus pada ponselnya.

Sang ayah mengernyit heran, "pacar? Tumben nih pacarnya di perhatiin. Bukan pacar abal-abal lagi?"

"Bukan. Tapi pacar bagi-bagi. Soalnya si Kevin juga suka sama dia."

Sang ayah dan kakak sulung langsung menatap Kevin. Yang disebut mendengus kasar.

"Itu gebetan gue ngomong-ngomong. Gue duluan yang nemuin dia." Sela Kevin sedikit kesal dengan ucapan Levin.

Sedangkan adiknya tertawa, "bodo amat. Pokoknya gue suka sama gebetan lo yang ini."

Gebetan Satu KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang