Lelaki berbadan bongsor itu meninggalkan ruang kelasnya dengan wajah kusut. Tangan besarnya memegang tali ransel hitam yang terlihat sangat berat.
Meski pelajaran yang membosankan sudah berakhir beberapa menit yang lalu, tapi bayang-bayang rentetan ujian akhir yang sudah dijadwalkan akan dilaksanakan dalam beberapa bulan lagi makin hari makin menghantuinya.
Bukannya segera pulang kemudian menuju tempat bimbel, lelaki itu malah berbelok menjauhi gerbang. Ia menuju deretan ruang ekstrakurikuler yang sudah mulai ramai dipenuhi suara para adik kelasnya.
Setibanya di sana, ia melongok ke salah satu ruangan yang dipenuhi berbagai macam alat musik. Namun, berikutnya ia mengernyit ketika tak menemukan keberadaan sosok yang ia cari.
“Kak Ben, ada apa, Kak?” suara seorang perempuan muncul di belakangnya membuat lelaki itu berbalik.
“Eh, Yana? Temannya Oji kan?” Ben, lelaki itu balik bertanya untuk memastikan.
“Iya, Kak. Kakak cari Oji?”
Ben mengangguk mengiyakan. “Oji belum ke sini ya?”
Yana, perempuan itu melongok ke dalam ruangan selama beberapa saat.
“Dari tadi sih belum ke sini, padahal beberapa menit lagi mulai. Baru kali ini Oji bolos ekskul,” ujar Yana terus terang. Ikut sedih karena seseorang yang berperan penting kini tak muncul batang hidungnya.
“Oh, thanks ya. Nanti kalau dia datang ke sini tolong bilang kalau Bang Ben cari dia.”
“Iya, Kak,” Yana mengangguk.
Gadis itu menatap Ben yang kini berjalan menjauhinya dengan tatapan sendu. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka, entah itu permasalahan internal atau eksternal.
Sepertinya cukup besar. Itulah yang ada di pikiran Yana saat ini.
“Yana, bantu fotokopi ini ke depan, yuk!” Seruan teriakan seseorang membuat Yana mengerjap tersadar.
Di detik berikutnya gadis itu memukul lengan temannya itu dengan pelan karena telah membuat semua yang ada di pikirannya lenyap begitu saja.
®®®
Suara musik hip-hop terdengar keras di telinganya tak lama kemudian setelah Ben memasang earphone berwarna hitam di kedua telinga.
Lelaki itu berjalan di koridor dengan kepala menunduk menatap layar smartphone yang menunjukkan riwayat panggilan keluar.
Raut wajahnya makin kusut karena sedari tadi orang-orang yang dituju tak menjawab panggilan darinya.
Sesampainya di lapangan belakang yang sedang tidak digunakan, lelaki itu berhenti dan mendudukkan dirinya di sana seorang diri.
Kedua kakinya ditekuk dengan kedua tangan dilletakkan di atas lututnya, lelaki itu menatap langit. Kemudian mata lelaki itu terpejam menikmati ketenangan sesaat yang baru saja ia temukan.
Rasa sakit di kepalanya telah dikalahkan oleh suara musik yang terdengar keras di telinga.
Namun, tetap saja rasa sakit di hatinya masih tak bisa disamarkan, bahkan oleh musik dengan volume penuh sekalipun.
Ternyata begini rasanya ditinggal pergi.
Kehilangan seseorang yang benar-benar sangat berharga dalam hidupnya, Ben baru merasakannya saat ini.
Ben mengerti, alasan mereka tidak menjawab panggilannya itu bukan karena mereka tidak ingin mendengar suara Ben.
Itu karena mereka membutuhkan waktu untuk sendiri, waktu untuk menyembuhkan dan memulihkan diri mereka sendiri, atau waktu yang akan membuat mereka menerima kenyataan bahwa dia telah pergi.
Bagaimana bisa kepala Ben hanya berisi kekhawatiran tentang mereka?
Padahal dirinya sendiri juga sedang tidak baik-baik saja.
Bagaimanapun, kepergian melodi membuat musiknya kini tidak ada artinya lagi.
Tiba saatnya musik yang terputar telah sampai di penghujung. Kini bersiap digantikan oleh musik selanjutnya.
Namun, bukan itu yang Ben dengar.
Bukannya musik hip-hop favoritnya, kini alunan nada-nada telah digantikan oleh suara seseoraang yang sangat Ben kenali.
Lelaki itu terdiam, tak berniat menekan tombol pause. Walau ia tahu ini akan membuatnya semakin merasa sakit.
Halo, Kak Ben. Apa kabar? Pasti baik-baik saja kan.
Ben terlihat langsung menunduk begitu mendengarnya.
Bagaimana merasa baik-baik saja, jika suara itu bahkan tak menunjukkan nada sendu. Tidak seperti sedang mengucapkan salam perpisahan.
Sorry, ya, kalau aku mengirim voice note ini tiba-tiba. Ini karena aku tidak seberani dan sehebat kamu. Aku terlalu lemah untuk berbicara langsung dengan menatap kedua matamu.
Kamu ingat ketika kita membuat sebuah lagu, kamu bertanya kepadaku, “Apa mimpimu, Rai? Aku akan menulis tentang mimpi kamu di bagian ini agar mimpimu terwujud.”
Ben menghembuskan napasnya sekali lagi. Kini mendongak menatap langit yang menghitam sekaligus menahan zat cair di pelupuk matanya agar tidak jatuh.
Aku ingin terbang bebas, Kak. Terbang bebas menuju langit yang lebih tinggi di atas sana, dan kini aku telah menyadari bahwa aku hanya bisa terbang bebas jika aku terbebas dari cengkeraman kalian.
Sekarang, sudah saatnya kalian melepaskanku dan membiarkanku terbang tinggi. Aku pikir kamu sudah mengerti tujuanku mengirim pesan suara ini. Jadi, selamat tinggal, Kak Ben, orang terhebat yang pernah aku temui.
Terima kasih karena kamu sudah seperti kakak terbaik yang pernah aku temui, terima kasih karena kamu sudah mengajariku banyak hal, dan terima kasih karena kita pernah membuat sebuah lagu dan menyanyikannya secara bersama-sama.
Earphone di kepala Ben ditarik dengan paksa hingga suara itu menghilang.
Ben menunduk, tepat ketika air matanya menetes, tetesan lainnya yang berasal dari langit menyusul dengan segera. Semuanya berlalu begitu cepat dan ia pikir, ini akan menjadi lagu terburuk yang pernah melintas di kepalanya.
Ternyata ini yang ia maksud terbang bebas.
Jika Ben bisa memutar waktu, ia berharap untuk tidak membuat lagu itu bersama dengannya. Karena sekarang ia berharap mimpi itu tidak pernah terwujud dan lagu terburuk itu tak pernah ia dengar.
Kamu bisa pergi.
Kamu bisa terbang bebas meninggalkan kita.
Kamu bisa menghapus ingatanmu tentang kita, tapi kami yang ada di sini akan sangat tersiksa ketika mendengarmu menyenandungkan lagu itu, Rai.
®®®
KAMU SEDANG MEMBACA
B Me
Short Story[A universe in the song] . . Ini bukan tentang siapa yang mengawalinya. Ini adalah tentang siapa yang akan tetap bertahan sampai akhir cerita dan menemukannya. . . Note: This story is written based on B Me by Stray Kids.