3. R and R

0 0 0
                                    

Laki-laki itu berdiri di tepi lorong sekolah lantai dua yang sudah sepi. Kedua tangannya yang memegang sebuah smartphone ditumpukan pada pagar pembatas.

Dia dapat melihat pantulan wajahnya di layar dengan jelas. Terdapat luka kecil di pipi kanannya yang kini sudah agak mengering. Rasanya pun sudah tak seperih sebelumnya.

Dia berbalik, mencari benda yang telah menyebabkan luka di pipi. Sebuah note book yang sudah tak mulus lagi, tergeletak di lantai dalam posisi terbuka.

Sepertinya ring besi yang menyatukan lembaran-lembaran buku itu lah yang telah menggores wajah mulusnya.

Ia meraihnya, membaca tulisan yang tertera di halaman itu.

“Rian!”

Pemuda yang dipanggil itu menoleh. Melihat seseorang kini tengah menghampirinya, ia jadi mengurungkan niat dan memilih untuk menutup note book itu, menggulungnya, kemudian menyembunyikan di belakang tubuhnya.

“Rian, Rai... di mana?” tanya Ares.

Rian terdiam sejenak, walau pada akhirnya ia mengatakannya.

“Kak Rai sudah pergi. Pergi jauh.”

“Per—“

“Kak Rai tidak akan kembali. Keputusannya sudah mutlak, tidak bisa diubah,” tambah Rian meyakinkan pemuda di hadapannya.

Di balik tubuh Rian, tangan kirinya meremas note book itu dengan kuat. Rian benci ini.

Bukan, bukan jawaban itu yang ingin Ares dengar. Ares ingin mendengar jawaban lain. Jawaban yang menyanggah pernyataan menyakitkan. Jawaban yang bisa memperbaiki semuanya.

“Kenapa?” Dari sekian banyak pertanyaan yang melintas di kepalanya, Ares memilih untuk tetap menyimpannya sendiri.

Di hadapannya, Rian terlihat tersenyum samar. “Itu akan aku beri tahu nanti. Sekarang—“

“Sebentar, wajahmu...”

Rian mengerjap, tangan kanannya yang memegang smartphone menyentuh luka itu. “Oh, ini.”

“Rian...”

Rian menggaruk kepalanya dengan canggung. Kini ia memahami apa yang akan terjadi setelah ini dan sebelum hal itu terjadi, dirinya harus segera bertindak.

“Yan, Noah ada di mana?”

®®®

B MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang