5. R and O

0 0 0
                                    

"Kalau kamu ingin semuanya berjalan seperti keinginanmu, kenapa kamu memintaku melakukan ini? Kenapa tidak kamu saja yang mengambil peranku?”

“Ojii, aku tidak bisa terus-menerus menjadi alatmu yang bisa kamu gunakan untuk mencapai ambisimu.”

“Selamat, Ji. Sekarang, kamu yang akan menjadi kompas, bukan aku. Oji, aku sudah membantumu menemukan tempat yang kau inginkan, sekarang biarkan aku melakukan apa yang aku mau."

“Aku akan pergi setelah ini. Aku akan bebas, Ji. Terbang tinggi, jauh lebih tinggi daripada kalian.”

“Dan penyesalanku akan hilang jika aku menjadi diriku sendiri.”

Api dengan cepat melahap kertas yang ada di tangan Oji seiring dengan suara-suara tak  berguna itu yang makin menghilang. Oji melepaskan lembaran kertas ketika api mulai membesar, sebesar rasa bencinya.

Rai telah salah menilai.

Dirinya bukanlah kompas karena ia sendiri yang menggunakan kompas itu untuk menemukan arah yang akan membawanya menuju tempat yang Oji inginkan.

Selama ini, Rai lah yang Aji percaya sebagai kompasnya. Meski kompas itu telah rusak karena Rai sendiri yang memutuskan untuk pergi.

Tak masalah, karena ada banyak orang yang akan menggantikan peran Rai secara suka rela. Cepat atau lambat Oji pasti akan menemukannya.

Sembari menunggu itu, dirinya harus tetap berjalan bersama yang lain menggunakan kompas rusak. Ketika kompas rusak itu menunjukkan arah yang salah, Oji pasti akan mencari cara untuk mundur kembali.

Baginya, mundur juga bukan berarti kalah. Seperti itulah jalan seorang pemenang.

Menurut Oji, dirinya tidak akan pernah tersesat, bahkkan jika ia menggunakan kompas rusak sekalipun. Ini karena Oji mengenal dirinya sendiri sejak lama, menyusun peta perjalanan dari jauh-jauh hari.

Semua ini sudah dipersiapkan dengan baik, dan sekarang, Oji sedang memikirkan cara untuk kembali.

Tubuhnya tidak akan tahan dan akan mengirim sinyal kepadanya jika dirinya berada di arah yang salah. Itulah Oji. Karena kemampuannya itu pula, kini ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik pikirannya.

Getaran smartphone di sakunya membuat Oji mengerjap tersadar. Oji mengambil benda itu dari sakunya. Ia menggeser tombol merah, tetapi penelepon yang sama kembali memanggilnya.

Hal berulang beberapa kali hingga Oji merasa terganggu.

Pada panggilan ke lima kalinya, ia segera menggeser tombol hijau yang tertera di layar.

“Ha—“

“Oji, teman kamu Kak Noah kan? Aku mohon. Tolong, datang ke sini. Cepat. Secepatnya, Ji, jangan membuatku menunggu lebih lama. Ini darurat. Gawat. Aduh, aku tidak tahu. Bagaimana ini, Ji.”

Oji agak menjauhkan smartphone-nya dari telinga.

Suara bernada tinggi yang mengucapkan berkata-kata dengan susunan kalimat rancu menunjukkan bahwa dia sedang panik itu tentu saja Aji sangat mengenalnya.

“Maksudnya, sebentar. Ya, kenapa? Ada apa?”

“Anu, ini, temanmu, ditabrak mobil, Kak Noah”

Mata Aji langsung membulat ketika suara di seberang menyebut nama teman dekatnya.

“Hah? Kamu di mana?”

“Di pinggir, sekolah, jalan. Dekat sekolah, Ji.”

“O-oke. Ya, tunggu sebentar. Aku akan ke sana.”

“Iya, Ojii, cepat!”

Selepas menutup panggilan, Oji berlari dengan sekuat tenaga.

Meski kompasnya rusak, dirinya masih bisa berlari dengan baik. Oji mengatur kecepatannya sendiri serta menentukan arah langkahnya sendiri.

®®®

B MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang