6. Black Widow

19.1K 2.5K 34
                                    

Caca dan Putri sibuk menyematkan beberapa pasang high heels ke dalam kakinya, sedangkan aku masih memandangi sepatu berhak lima sentimeter di tanganku dengan was was, mempertimbangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi kalau benda ini berada di kakiku.

1. Aku akan kesleo

2. Aku akan jatuh dan berakibat kesleo

3. Aku akan jatuh, kesleo di hadapan masyarakan ramai berakibat dengan terjun bebasnya harkat dan martabatku sebagai manusia

"Itu cantik kok, Dian. Cobain deh." Caca memberikan semangat.

Aku meresponnya dengan senyum lemah. Usaha teman-temanku untuk membuatku terlihat 'cantik' layak mendapatkan acungan jempol. Seperti hari ini, setelah rekening bank-ku kembali tebal kemarin, mereka menggiringku ke sini. Toko sepatu langganan kami, lebih tepatnya langganan mereka. Mereka meyakinkan bahwa sebagai seorang sekertaris aku harus mulai terbiasa memakai sepatu berhak tinggi, itu adalah aturan tidak tertulis. Katanya. Entah siapa yang berkata sebelumnya.

"Gue lebih suka converse dari pada ini."

"Diaaaan!" Suara Caca dan Putri hampir bersamaan.

"What?" responku polos. Memang benar aku lebih suka converse, sangat nyaman untuk dipakai, tidak beresiko jatuh dan kesleo. Tetapi tentu saja sia-sia menerangkan semua logika itu ke dua perempuan ini. "Iyaa ... gue cobain."

Aku memasang dua sepatu Cinderella seolah sedang memasang dua bom yang siap meledak setiap saat. Dengan tertatih aku berjalan ke arah kaca, setiap langkah aku lakukan dengan penuh perhitungan untuk memastikan aku tidak harus memanggil tukang urut setelah keluar dari tempat ini.

"Tuuh kan, cakeeep. Warnanya bikin kulit loe tambah hidup," Putri memandangi kedua kakiku seolah bagian tubuh itu tidak pernah terlihat sebelumnya.

"Memang, kulit gue mati sebelumnya." Diam-diam aku mengakui, warna sepatu ini terlihat sangat cantik di kulitku yang agak gelap. "Ya sudah, gue nyerah. Demi kalian gue rela merogoh kocek."

Caca dan Putri ber-high five, seolah baru saja berhasil meyakinkan Elon Musk untuk mendonasikan seluruh hartanya untuk anak-anak di Afrika.

"Gue yakin, sebentar lagi kecantikan elo pasti akan bisa mengalahkan pesona si Incess."

Caca membuka suara, ketika kami berjalan keluar dari mall yang terletak tidak jauh dari gedung tempat kantor kami berada. Aku memutar bola mata, siapa juga yang pengen ngalahi si Incess, aku gembira dengan wajah dan penampilanku. Tidak perlu harus cetar membahana, lagi pula tidak pernah ada yang komplain. Aku tidak mempunyai orang yang ingin membuatku berlama-lama di depan kaca, aku tidak ingin berada terlalu lama di depan kaca, yang menurut aku adalah bentuk dari membuang waktu dengan sia-sia.

"Ya ... ya, kalian dan definisi cantik dari kalian," balasku malas. Aku tahu untuk tidak perlu membuang energi berdebat dengan mereka dalam urusan cantik.

Kedua sahabatku ini memang cukup imut, cantik, tidak se-glamour Sisca, tapi mereka cukup good looking. Penampilan mereka sangat girly, jauh dibandingkan dengan aku yang apa adanya. Caca bahkan dengan terang-terangan bilang dia bingung kenapa aku bisa diterima menjadi sekertaris Pak Hardiman, dengan hobiku yang memakai converse.

Kami berhenti sebentar menunggu lalu lintas agak sepi untuk menyeberang jalan. Seperti biasa, Caca menggangdeng tanganku, layaknya aku adalah anak umur lima tahun yang akan kabur sewaktu-waktu tanpa memperhatikan mobil yang melintas. Dia akan terus mengganggam tanganku sampai kami selesai menyeberang jalan. Seperti yang dia lakukan saat ini. Kalau sampai aku tidak sukses mendapatkan pacar, aku bisa menyalahkan Caca. Berkat dia, orang-orang akan mengira kami adalah lesbi.

Kami berjalan menuju gedung kantor yang tidak jauh lagi. Lalu tiba-tiba sebuah tangan mencoba merampas dompet dan handphone yang aku pegang di tangan kanan. Tubuhku yang sudah terbiasa dengan refleks bereaksi, seluruh otot di dalam badanku bekerja untuk menahan rampasan tangan tersebut dan refleks memerintahkan tanganku yang lain untuk menarik tangan siapapun yang mencoba menjambretku.

Aku mendengar suara motor yang berdecit, diikuti oleh bruuk. Seorang laki-laki dengan kepala tertutup helm jatuh tertelungkup tidak jauh dari tempatku berada. Sepeda motor dan seorang lagi jatuh beberapa meter dari tempatku berdiri.

Sialan! Umpatku. Aku ingin menendang orang berhelem yang sudah hampir mencopetku, tetapi niat itu aku urungkan. Dompet dan hanphone yang terjatuh tidak jauh dariku lebih layak untuk mendapatkan perhatianku.

Mudah-mudahan tidak pecah layarnya. Ya Tuhan, hamba-Mu ini tidak siap untuk mengeluarkan dana mendadak.

Aku meraih dompet dan handphone-ku dan menghembuskan napas lega ketika mengetahui benda itu tidak pecah. Yep, rekeningku akhirnya selamat.

Lalu sebuah tangan meraih pundakku dengan keras, refleks aku mencengkeramnya, kedua kakiku membentuk kuda-kuda kencang untuk menahan tabuhku, tanganku yang lain menahan sebuah kepalan yang melayang ke arah wajahku. Aku mengaitkan salah satu kakiku ke kaki si penyerang lalu dengan sekali sentak membanting tubuhnya ke aspal. Badannya yang lebih besar dariku akan membuatnya bisa berbalik menjatuhkanku sewaktu-waktu, aku memutar posisi tubuh, menggunakan salah satu kakiku untuk mencengkeram lehernya.

Aku baru melepaskannya setelah mendengar suara terbatuk-batuk diiringi napas yang tersengal-sengal. Dua orang satpam belari-lari ke arahku.

"Ya ampuun, Mbak. Mbaknya nggak papa? Ya ampuun."

Salah satu di antara mereka meraih tanganku untuk berdiri. "Saya nggak papa, Pak. Mungkin dia tuh yang butuh perawatan," kataku menunjuk ke arah si pencopet yang kini sibuk melepaskan helemnya.

"Biarin, Mbak. Biar kapok. Tapi bener, Mbaknya nggak papa?" Salah satu dari satpam menarik si pencopet ber-helm, memegangnya erat, mungkin dia takut pencopet itu akan melarikan diri.

"Saya, nggak papa kok, Pak."

"Untung si Mbak-nya jago. Mbak, itu tadi apa? Karate? Pencak silat?"

Aku tersenyum lebar, tidak menjawab pertanyaan si Pak Satpam, membersihkan celana dan blus yang sedikit kotor oleh debu jalanan menjadi perhatian utamaku, lalu mendongak untuk mencari di mana keberadaan kedua sahabatku. Dan aku menemukan kerumunan orang dengan dagu terngaga hampir menyentuh trotoar, juga Caca dan Putri dan seseorang bermata kebiruan yang berdiri tidak jauh dari mereka.

Mencoba tidak menghiraukan puluhan pasang mata yang sekarang sedang tertuju ke arahku, aku melangkah pergi, diikuti oleh kedua sahabatku yang kini seperti sedang terhipnotis.

"Dian ... ini bener elo, kan?" cicit Putri.

"Iyee, siapa lagi."

"Yang barusan karate jumpalitan itu tadi bener elo?" Caca menjejeri langkahku.

"Memangnya, loe ada lihat stunt double di sana? Lagian gue nggak jumpalitan."

"Keren banget, elo tadi. Kok gue nggak pernah tau loe bisa karate sih? Apa kungfu? Wushu?" sahut Putri.

"Bener Dian, kalo sebagai penutupnya loe lompat, pose dengan satu tangan terentang. Elo sudah persis sama Black Widow," kata Caca.

"Gue nggak nolak punya temen Black Widow, bakalan berasa aman terus," timpal Putri.

"Ilsa Faust," kata suara dalam dari belakang kami. Sontak kami menghentikan langkah dan memutar badan.

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang