14. Sekertaris

15.1K 2.1K 13
                                    

Ini pasti karena semalam. Pasti!

Dia tidak terbiasa ditolak. Tidak mendapatkan apa yang dia mau, jadi sekarang dia menggunakan senjata andalannya. Kekuasaan.

Aku meradang begitu keluar dari ruangan kerja Pak Hardiman, tanpa kembali ke meja kerjaku, aku berjalan dengan cepat ke arah ruangan Daniel. Dia harus tahu, bahwa dia tidak bisa mem-bully aku begitu saja. Tidak ada gunanya aku bersabuk hitam judo kalau aku membiarkan orang lain untuk mem-bully-ku.

Berbeda dari ruangan Pak Hardiman, ruangan kerja Daniel berdinding kaca transparan, sama seperti ruangan para pejabat kantor lain di perusaahan ini. Dia sedang berbicara di telepon ketika aku menerjang masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dadaku naik turun karena marah.

"Sorry. Can I call you back, I have an emergency here." Dia menyudahi panggilan teleponnya, mengalihkan pandangan penuh tanya ke arahku.

"Bapak tahu, yang Bapak lakukan adalah harassement-kan? Bukan sexual harassament, tetapi tetap saja harassament. Saya tidak perduli pangkat Bapak, atau siapa Bapak, tapi saya bisa melaporkannya ke HRD."

Kerutan dalam timbul di keningnya. Kebingungan di wajahnya seperti bertambah tujuh kali lipat. "Diandra?"

Sialan. Cara dia memanggil namaku, tetap saja menimbulkan getaran aneh. Walaupun aku dalam keadaan marah, seperti sekarang ini.

"Saya tidak mengerti maksud kamu. Bisa dijelaskan kenapa kamu tiba-tiba memarahi saya?"

Tiba-tiba? Masih berpura-pura tidak tahu. Sama sekali tidak lucu!

"Seharusnya saya yang perlu penjelasan, dan kalau Bapak masih belum mengerti, saya tidak bisa digertak seperti ini."

Dia mencondongkan badannya ke arah meja. "Bisa duduk terlebih dahulu. Mungkin pembicaraan kita akan bisa lebih teratur kalau kamu duduk." Tangannya terlambai ke arah kursi di depan meja kerjanya.

Aku memandangi kursi sejenak, lalu melangkah dan duduk, pandanganku tetap masih menghunus ke arahnya.

Wajahnya tampak tenang dan ... sialan, tampan. Aku menurunkan tatap mataku, memandang sedikit di atas bahunya, karena jujur, wajahnya sangat menganggu. Dan mungkin saja, akan menurunkan derajat kemarahanku, kalau aku terus-menerus menatapnya.

"Pertama-tama, I thought we are settled with Daniel."

"Tidak bisa! Kita bukan teman. Kita sedang di kantor, apalagi setelah kejadian sekarang." Sergahku cepat.

Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, dengan jemari saling berpadu. Aku bisa melihat bulu-bulu halus di punggung jemarinya.

Urrggh, fokus Dian. Kamu ke sini untuk meng-konfrontasi pem-bully kamu, bukan malah mengagumi bulu tangannya.

Dia menarik napas lirih. "Right, bukan teman." Ada yang aneh dari nada bicaranya, lalu perhatiannya kembali tertuju kepadaku. "Kedua, saya tidak mengerti maksud kamu tentang 'kejadian sekarang'."

Sekarang giliran aku yang menarik napas. Kesal. "Saya. Jadi sekertaris Bapak," kataku berapi-api.

"Tunggu. Kamu? Jadi sekertaris, saya?" Kerutan di keningnya bertambah dalam, air mukanya tidak lagi menunjukkan bingung tujuh keliling tetapi mungkin dua puluh empat keliling.

Aku merespon ucapannya dengan tatap mata setajam pedang.

"Kamu dapat informasi dari mana? Saya memang sedang mencari sekertaris, tapi ... kamu?"

Sekarang aku mulai bingung. "Pak Hardiman yang memberitahukan ke saya." Suaraku turun tiga oktaf dari sebelumnya.

"Pap ... Pak Hardiman? Kapan?"

Aku menciut. Jangan-jangan dia tidak tahu menahu tentang ini. Oh nooo. "Baru ... saja." Cicitku.

Tangannya segera meraih gagang telepon, menekan angka yang aku yakin adalah nomor Pak Hardiman.

Aku mendengarkan dengan ciut ketika dia berbicara dengan Pak Hardiman. Merutuki diri sendiri. Dian. Dian. Dian. Seharusnya aku mengecek terlebih dahulu, bukan langsung menyerbu marah seperti sekarang. Ya Tuhan, saat ini aku benar-benar ingin mengekerut berubah kecil seperti semut supaya bisa keluar dari ruangan ini tanpa terlihat.

Aku memilin ujung blusku, menambah parah kerutan yang sudah terjadi di sana.

Daniel meletakkan gagang telepon. Pandangannya kembali tertuju ke arahku, sepertinya dia tidak marah. Tidak. Ada sesuatu yang lain, entah apa aku tidak bisa membaca.

"So, Diandra."

Maaan, panggilan itu lagi. Aku gagal merespon, tidak hanya karena saat ini jiwaku seperti menciut, tetapi setiap kali dia memanggil namaku membuat jantungku berdetak 5 kali lipat di atas kecepatan normal. Kalau sampai aku harus ke rumah sakit setelah ini, dia harus bertanggung jawab.

"Saya memang sedang membutuhkan sekertaris. HR memang sedang merekrut kandidat untuk saya. Pak Boss melihat kamu sebagai seseorang yang sangat qualified, dan saat ini kemampuan kamu tidak terlalu digunakan secara maksimal. Jadi beliau berpendapat, kamu akan mempunyai opportunity lebih besar kalau kamu bekerja dengan saya."

Oh.

Aku menelan ludah, mulutku membentuk huruf O besar tanpa suara yang keluar dari sana.

"Itu, kalau kamu bersedia bekerja dengan saya. Menjadi sekertaris saya. Kalau tidak, kamu tetap bisa kembali ke posisi kamu semula."

Toloong. Aku ingin merangkak dan bersembunyi di bawah meja. Saat ini juga.

"Jadi ... bukan karena ... semalam?"

"Semalam?" Wajah Daniel kembali berubah menjadi bingung.

"Maksud saya ... bukan karena mmm ... saya menolak ajakan, Pak Daniel?"

Keningnya berkerut sesaat, lalu senyum lebar tersungging di wajahnya. Disertari lesung pipit yang lagi-lagi mengancam kesehatan jantungku.

"Diandra. Kamu pikir saya orang yang suka memaksa. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan semalam. Saya bahkan tidak tahu menahu sebelumnya. Sebelum kamu mendamprat saya."

Wajahku memanas, aku yakin sekarang roman mukaku lebih merah dari kepiting rebus. "Maaf, Pak."

Dia masih menatapku, ada sesuatu yang melintas di raut wajahnya, tetapi hilang dengan sesaat, raut wajahnya kembali seperti sebelumnya. "Jadi, kamu bersedia?"

Hah?

Aku bingung sesaat, lalu kembali ke alam sadar, pertanyaannya berhubungan dengan urusan sekertaris. Dia bukan melamarku atau apa. Melamar. Hah, kata yang lucu.

"Jadi sekertaris Bapak?"

"Iya, saya bukan melamar kamu untuk menjadi istri saya."

Eh?

Hawa hangat yang masih tersisa di wajahku kini naik lagi, mungkin 5 atau 7 derajat.

Dia mengangguk. "Sekertaris."

Oke, mungkin aku akan harus rajin untuk periksa ke dokter, atau menemukan cara supaya jantungku bisa imun terhadap senyum dan suara Daniel. Tetapi, menjadi sekertaris dia juga berarti aku bisa langsung bekerja tanpa rintangan dari Bu Rina, kesempatan untuk menggali potensi yang aku punya. Kemungkinan untuk mengembangkan diri dan karir.

Sepertinya bukan pilihan buruk. A step away untuk menjadi eksekutif. Oke ... oke ... ber-step step away untuk menjadi eksekutif.

Aku mengangguk mantap, senyum lebar tercipta di bibirku.

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang