9. A Decent Proposal

17.7K 2.3K 10
                                    

Aku kena kutuk. Yep, positif, mungkin harus diruwat dengan kembang tujuh rupa untuk membebaskan diri dari kutukan. Sudah lewat jam 8.30 dan aku masih di kantor.

Aku menghela napas, mencoba kembali fokus ke layar monitor. Ini pasti karena aku terlalu lama makan siang, atau melayani rapat darurat dengan Caca dan Putri. Rapat darurat adalah sebutan kami ketika grup chatting yang isinya hanya kami bertiga tidak lagi bisa menampung isi gosip yang sedang kami perbincangkan? Pergosipkan? Jadilah kami bertiga meluncur ke lantai teratas tangga darurat di gedung ini. Bukan untuk merokok ... bwaahh, aku paling nggak tahan dengan bau asap rokok, tetapi untuk melanjutkan diskusi (baca: gosip) kami secara langsung. Eye to eye!

Yang jadi masalahnya bahan pembicaraan kali ini adalah aku. Yep, aku, jadi objek diskusi Caca dan Putri. Aku tidak mau berpartisipasi tentu saja. Setiap pertanyaan yang diberondongkan dari mulut kedua sahabatku itu selalu aku sangkal, persis seperti koruptor yang menyangkal tidak mencuri uang rakyat. Lah iya, tidak ada yang bisa aku konfirmasi. Sebenarnya, aku tidak harus melayani pertanyaan picisan macam begini.

"Jujur. Loe naksir Daniel juga kan?" Itu meluncur dari mulut Putri.

"Cara Daniel memandang elo itu loh, gilak, kayak elo itu makhluk terindah di dunia." Racauan Caca.

Makhluk terindah nenek loe!

Aku hanya menatap lurus ke depan ketika mereka berdua berkicau sambil menikmati cupacup rasa jeruk yang berada di mulutku. Lumayan bisa mengalihkan perhatian dari polusi suara yang bertubi-tubi.

Daniel.

Naksir?

Huh!

Not in a million years! Aku bukan korban drakor yang bermimpi bahwa kalangan konglomerat akan bisa jatuh cinta dengan rakyat jelata. Selain di drakor itu hanya terjadi di novel romans, dan Pretty woman. Tetapi di Pretty woman, Julia Robert yang memerankan Vivian dan siapa yang nggak jatuh cinta sama Julia Robert kan?

Intinya, aku menuduh rapat darurat tidak penting itu menjadi salah satu penyebab aku masih nongkrong di meja kerjaku setelah lewat jam normal ini.

Penyebab lainnya? Siapa lagi kalau bukan Sisca. Tarik napas, keluarkan napas. Mind fullness.

Yes, ini adalah pekerjaan Sisca, yang 'didelegasikan' kepadaku secara sepihak. Tanpa persetujuan, apalagi meminta tanda tangan di atas materai. Alasannya? Karena dia harus ke dokter kulit. Bukan, bukan karena panu apalagi kurap, untuk keperluan facial? Peeling? Memangnya mangga pake di peeling segala.

Jadilah aku yang harus membereskan pekerjaannya, karena besok pagi semuanya harus sudah siap di meja Pak Bos.

Haaahh ... aku butuh mind fullness lagi.

"Halo."

Sebuah suara menggagalkan usahaku untuk mendapatkan si mind fullness. Suara dalam milik seseorang dengan mata kebiruan. Aku mendongak ke arah meja setinggi dada yang membatasi area luar dengan meja kerjaku, menemukan dada luar biasa bidang berbalut kemeja mulus berwarna biru muda. Itu kemeja masih bisa licin di hampir jam 9 malam? Jangan-jangan dia menyimpan setrikaan di ruangan kerjanya.

Mataku perlu merayap ke atas lagi untuk menemukan wajahnya. Dahinya berkerut. Terlalu dalam, memberikan resiko meninggalkan bekas di dahi yang biasanya mulus itu.

"Kamu masih ada di sini?"

Pertanyaan aneh. Jelas-jelas dia ngelihat aku, bukan jelmaan hantu. "Iya. Masih beresin kerjaan. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Biarpun orang ini selalu mengancam kesehatan jantungku, tetapi aku tidak menemukan alasan logis supaya untuk bertingkah tidak sopan kepadanya.

Dia melihat jam mahal yang bertengger manis di tangannya. Aku yakin jam itu mahal. Mana mungkin dia cuman memakai jam ecek-ecek dari ITC. "Sudah hampir jam 9 malam. Kantor ini sudah sepi."

Aku maunya jam segini juga sudah nongkrong di rumah, mantengin netflix sambil makan kacang atom. "Kebetulan ada deadline. Sebentar lagi selesai. Ada yang bisa saya bantu?" Lagi-lagi aku mengulangi pertanyaanku.

"Memang Pak Bos suka kasih kerjaan mepet-mepet?"

Kalau saja tugas yang aku kerjakan sekarang datangnya langsung dari Pak Bos, aku pasti bakalan lebih ikhlas. "Enggak. Kebetulan lagi banyak."

Nggak mungkin kan aku bilang ini dari Sisca dan dirinya sedang sibuk mempercantik wajah. Kerutan di keningnya semakin dalam, seperti tidak percaya dengan ucapanku.

"Papa ... maksudku Pak Bos, masih ada?" salah satu tangannya menunjuk ke arah ruangan Pak Hardiman.

Aku menarik napas, orang ini masih belum menjawab pertanyaanku dari tadi. "Sudah pulang Pak, dari tadi."

Dia termenung sebentar, jarinya mengetuk-ketuk meja tinggi di hadapanku, pandangannya tertuju ke arah pintu ruangan Pak Hardiman yang tertutup rapat. "Berapa lama lagi kamu bisa menyelesaikan - jemarinya menunjuk ke layar monitorku - itu?"

Aku memandang layar monitor dengan bingung sebelum kembali ke wajahnya. Ada sesuatu yang membayang di sana, aku tidak tahu itu apa. "Sebentar lagi," jawabku bingung.

"Lima menit ... sepuluh menit?"

Aku masih tidak mengerti arah pertanyaannya. "Sepuluh menit?" kataku tidak pasti.

Dia melirik ke arah jam di tangannya, lalu menarik napas lirik, seperti mengantisipasi sesuatu. "Oke, kamu selesaikan dulu pekerjaan kamu. Saya kembali ke sini jam 9 dan saya antar kamu pulang."

Sepertinya aku berhalusinasi. Aku seperti mendengar dia berkata akan mengantarku pulang.

"Diandra."

Ada sesuatu yang unik dari caranya melapalkan namaku. Aku tidak tahu apa. Mungkin intonasi suaranya? Entahlah.

"Ya, Pak."

"Saya antar kamu pulang setelah kamu selesai."

What?

"Maaf?"

"Kecuali kalau kamu membawa mobil sendiri ... atau ada yang menjemput." Suaranya melemah di kata terakhir.

"Menjemput?" Tiba-tiba aku menjadi goblok.

"Iya. Mungkin ... pacar?"

"Pacar?" Entah kenapa sekarang aku menjelma menjadi burung beo.

Dia terdiam. Sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyum kecil yang membuatnya bertambah tampan sepuluh kali lipat. Aku memang benar-benar sedang berhalusinasi. Biasanya aku mencoba menghindari orang ini, walaupun sepertinya akhir-akhir ini sepertinya kurang sukses. Entah kenapa alam sepertinya selalu mempertemukan kami. Lalu aku teringat bahwa aku bekerja sebagai sekertaris bapaknya. Alam tidak ada campur tangannya dengan pertemuan-pertemuan kami. Semuanya hanya karena kami berada di dalam satu kantor. Satu lantai!

"Oke, jam 9 saya balik ke sini."

Dia melangkah pergi. Meninggalkan aku yang masih terbengong dengan huruf O besar terpampang di mulutku. Seandainya ada laler lewat, dia akan leluasa keluar masuk ke dalam sana.

Tunggu. Dia bilang akan mengantarkan aku pulang, tanpa menunggu persetujuanku. Bagaimana kalau aku memang benar nyetir sendiri ke kantor misalnya. Yang faktanya adalah tidak. Mempunyai mobil sendiri masih menjadi mimpi yang entah kapan akan terlaksana. Atau misalnya lagi, ada pacar tampan nan setia sedang menungguku dengan mesra di lantai bawah. Lagi-lagi faktanya, tidak ada. Intinya, dia harus meminta persetujuanku, tidak bisa memutuskan sesuatu sepihak saja.

Aku masih memandangi punggungnya ketika aku tersadar bahwa pikiranku melantur ke mana-mana. Mataku beralih ke layar monitor. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang