15. Bibit, Bebet, Bobot

16.1K 2K 12
                                    

Oke, jadi aku sekarang adalah seorang sekertaris. Bukan sekertaris junior lagi. Tidak ada dua orang sekertaris di atasku. Bos-ku sekarang adalah Daniel Hardiman, COO perusahaan ini, putra dari tidak lain tidak bukan Sapto Hardiman. Mmm ... tunggu, apa itu berarti aku sekarang mendapatkan promosi? Naik pangkat?

Sepertinya begitu. Tetapi aku lupa tidak menanyakan apapun tentang gaji. Aku berdiri termangu di samping meja kerja baruku yang masih kosong. Mungkin belum telat kalau aku menanyakan tentang gaji ke Daniel, maksudku ... bisa dipastikan aku akan mempunyai tanggung jawab lebih besar. Sudah sepantasnya aku mendapatkan gaji yang sesuai.

Aku melirik ke dalam ruangan Daniel, dia sedang berbicara di telepon. Lagi. Aku tidak mau menyela pembicaraan teleponnya. Lagi.

Aku menarik napas, lalu duduk di kursi. Setelah selesai menanyakan perangkat kerjaku, komputer dan teman-temannya ke tim IT, tanganku menekan tombol extensi Caca. Aku harus mengabarkan berita promosi ini, dan kedua sahabatku berada di daftar paling atas. Oke, baiklah. Aku sendiri yang memberikan predikat 'promosi' tentang pekerjaan baruku.

"Claudia," sapa Caca setelah dering kedua. Suaranya terdengar profesional, seperti bukan Caca yang galau ingin mencari pacar.

"Ca." Yah, aku tahu, sangat aneh. Tetapi kita orang Indonesia sangat terbiasa memanggil nama dengan satu syllable, jadilah Ca kadang menjadi nama panggilannya. Itu setelah nama Claudia tereduksi menjadi Caca.

"Dian? Loe nelpon dari mana?"

"Dari meja kerja gue." Aku nyengir lebar, walaupun jelas-jelas tidak mungkin Caca akan bisa melihatnya.

"Nggak muncul nama elo. Ini nomor baru."

"Itu karena tempat kerja gue sekarang berubah," kataku. Sengaja memberikan sedikit efek misterius.

"Loe gantiin Bu Rina? Dia memutuskan untuk pensiun dini, gitu?" Caca berbisik.

"Bukaan. Lagian, walaupun Bu Rina pensiun dini, masih ada Sisca yang bakal menjadi sekertaris utama." Keeping the suspense longer.

"Loe, pindah bagian?" tanyanya dengan suara tidak sabar.

"Yes. Gue sekarang sekertarisnya Daniel Hardiman."

"WHAT!?"

Sontak aku menjauhkan gagang telepon dari kuping. Pekikan suara Caca akan sanggup merobek gendang telinga. "Heh heh, kamu di kantor, bukan di pasar."

"Gimana bisa? Elo? Jadi sekertaris si Pangeran idaman?"

"Pangeran idaman elo, bukan gue. Nanti kita bisa melakukan rapat mendadak, kalau diperlukan." Rapat mendadak adalah, kami bertiga bergosip di tangga darurat lantai teratas di gedung ini, untuk memastikan tidak ada telinga-telinga yang tidak diinginkan ikut mendengar. "Ada hal lebih penting yang ingin gue tanyakan ke elo."

"Ada hal lebih penting dari elo sekarang menjadi sekertaris Daniel Hardiman?"

Gue mendesah. Obsesi perempuan ini, atau mungkin perempuan sekantor dengan Daniel masih menjadi misteri bagiku.

"Begini. Menjadi sekertaris Daniel kan berarti tidak ada dua sekertaris lagi di atasku, yang berarti sekarang aku bukan junior lagi. Menurut kamu, is it ok kalau gue minta kenaikan gaji?"

"Huh? Iya, so pasti. Daniel kan COO, loe bakal punya tanggung jawab lebih bekerja bekerja dengan dia langsung. Mendapatkan kenaikan gaji adalah hak elo."

Tiba-tiba aku merasakan ada kehadiran seseorang, dan ketika aku menoleh Daniel sedang berdiri di ambang pintu, kedua tangannya bersedekap di dada, mata menatap lurus ke arahku. Bibirnya sedikit terangkat ke atas ketika kami bersitatap. Sedikit. Aku tidak bisa memastikan apakah itu sebuah senyuman atau bukan. Yang jelas ... sialaaaaan. Sejak kapan dia berdiri di situ?

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang