Wo Ai Ni Wei Ying (Wangxian)

257 26 3
                                    

Mentari siang ini begitu terik. Akan tetapi hal itu tak menyurutkan semangat semua warga untuk menikmati festival musim panas.
Di kota Yilling inilah Wei Wuxian dilahirkan 20 tahun yang lalu. Sebagai keturunan dari seorang kultivator yang cukup tersohor—Changse Shanren—tak lantas membuat seorang Wei Wuxian mengikuti jejak sang ibu. Dirinya lebih menekuni seni lukis sejak kecil. Bukan berarti dirinya tak bisa menggunakan pedang. Namun, Wei Wuxian terlalu malas mengikuti kegiatan para kultivator yang hampir tak pernah diam di rumah.

Wei Wuxian itu seorang pemuda petakilan yang cukup nakal. Di kotanya, sudah sejak kecil semua orang menjadi sasaran kejahilannya. Namun, berbeda jika dirinya sedang memegang kuas: seolah segala hal yang menjadi sikapnya menguap begitu saja dan semua orang mengakui tangan ajaibnya.

Kota Yilling ialah kota kecil yang masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Lan. Di era Raja Qiren saat ini, semua rakyat merasa cukup makmur hidupnya. Kekacauan juga tak banyak terjadi. Namun, sebagai seorang kultivator ibu dari Wei Wuxian itu hampir selalu meninggalkan dirinya sendirian di rumah.  Karena hal itulah Wei Wuxian telah menjadi anak yang mandiri sejak kecil.

Kini, di tengah riuhnya para pengunjung pasar tradisional, stand yang didirikan oleh Wei Wuxian telah menyita hampir seluruh pengunjung.
Tangan cantik itu begitu lihai menggoreskan kuas, menghasilkan paduan warna yang sempurna. Lukisan yang dihasilkan pun terlihat begitu hidup. Membuat siapa pun yang di sana berdecap kagum.

Saking ramainya pengunjung ... tanpa disadari stand Wei Wuxian telah menarik perhatian prajurit kerajaan yang tengah berkeliling. Para prajurit itu saling tatap melihat sebuah lukisan yang kini telah selesai hingga salah satu dari mereka yang bernama Nie Huaisang berteriak spontan. “Woaah! Berapa lukisan yang itu? Aku beli.”
Wei Wuxian yang mendengar itu terkejut. Apalagi melihat siapa yang hendak membeli lukisannya. Memang dirinya terkenal di kota Yilling sebagai pelukis paling mahal. Namun, selama ini hanya beberapa tuan besar di sana yang bersedia membeli lukisannya tanpa basa-basi. Kini Wei Wuxian merasa sangat bahagia mendengar lukisannya bahkan akan terjual begitu selesai digoreskan. Tak perlu ada adegan tawar menawar dengan pengunjung.

“Sebenarnya, ini lukisan pertamaku untuk wajah ini. Aku merasa sedikit sayang—”

“Ini! Sekarang berikan lukisannya! Semua emas itu cukup, ‘kan?” Prajurit Nie melempar sebuah kantung ke arah Wei Wuxian.

Semua isinya sanggup membuat Wei Wuxian segera menyerahkan lukisan itu tanpa jual mahal lagi. Meskipun dirinya tak bekerja selama satu tahun, semua itu cukup untuk hidupnya sendiri. Bibirnya menyeringai lebar melihat tumpukan emas itu.

Sementara para prajurit yang berhasil membeli lukisan itu segera kembali ke kerajaan. Ada hal yang harus segera dibahas dan dilaporkan kepada raja.
 
                     ***
 
Pasukan prajurit yang telah kembali segera menghadap Sang Raja Agung. Lan Qiren yang tengah duduk di singgasana tak menyangka akan mendapat kabar mengejutkan. Lukisan yang kini berada di tangannya tampak begitu indah. Perpaduan warnanya sangat pas membuat lukisan itu seolah hidup dan tengah tersenyum ke arahnya.

Bukan itu masalahnya. Lukisan yang dibawa para prajurit ialah sosok dari pangeran Lan yang kedua—Lan Wangji—yang wajahnya tak diketahui siapa pun kecuali para penghuni istana. Bahkan sosok putranya yang sangat jarang keluar dari Jingshi itu tak pernah menampakkan senyum indah seperti dalam lukisan.

Siapa pelukis yang seolah-olah lebih mengenal Lan Wangji dari pada dirinya? Raja Qiren mengerutkan dahi sembari tangannya tak henti mengelus janggut panjangnya.

Dengan langkah mantap, Wang Qiren memerintahkan kepada prajurit agar seluruh keluarganya berkumpul sekarang juga.

***

Kumpulan Cerita Peserta Lomba Wangxian/XianwangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang