Enam

216 31 1
                                    

..

..

..

"Yaudah, gue pamit Jun. Maaf ya belum bisa ajak lo ketemu ibu. Beliau masih kepalang dendam sama ini sekolah." Vernon menepuk bahu itu pelan.

Juna terkekeh kecil, raut wajah nya seperti sudah terbiasa, tapi sedihnya masih ada disana. "Amaaan. Ibu cuma perlu waktu Ver. Ibu sehat saja aku udah senang. Apalagi ibu jadi lebih gendut kayak 5 tahun lalu." Senyumnya.

Dino hanya mengamati dari jauh, Juna adalah anak yang periang. Dino hampir menangis tadi saat sosok itu menceritakan bagaimana tragisnya kematiannya. Di kubur hidup-hidup dengan di timpa dengan semen itu adalah hal yang sangat keji, pelaku dan orang-orang nya patut di hukum seberat beratnya.

Pelakunya memang sudah ditangkap, tapi dalang dari semuanya masih belum di adili dengan adil karena kasus Juna sudah resmi di tutup tahun lalu.

"Dino. Semangat ya, aku dulu juga begitu. Dan Vernon membantu banyak."

Dino mengangguk. Lalu naik ke motor besar Vernon, melambaikan tangannya pada Juna saat motor itu menjauh.

Selama perjalanan pulang ini Dino dan Vernon diam, menikmati angin jumat sore yang ramai karena weekend sudah dimulai. Mereka tidak melewati jalan sempit tadi tapi lebih cepat sampai kerumah Vernon.

Disana sudah ada mobil ayah Vernon dengan pintu rumah yang terbuka lebar, diluar ibunya menatapnya sambil menggotong selang. Runitinas hariannya menyiram tanaman di sore hari.

"Bawa motor abang mu lagi. Kamu tuh belum punya SIM Vernon." Omelnya tanpa melihat anaknya yang kabur kedalam rumah.

"Hehe, aku sayang ibu."

Vernon tidak melihat ayahnya di ruang tamu, di ruang makan pun tidak ada. Lalu dimana beliau berada? Ia keluar lagi untuk menemui ibunya yang sudah mulai menyiram tanaman. "Ibu, ayah dimana?" Tanyanya.

"Gak tau, paling lagi ngurusin burungnya." Vernon cepat menuju halaman belakang. Benar, ayahnya sedang memandikan burung burungnya sambil bersiul siul mencoba berinteraksi dengan mereka.

"Ayah!"

Kalau masih kecil, ia akan berlari dan melompat riang ke gendongan tangan besar itu. Tapi dirinya sekarang sudah hampir 17 tahun, malu dilihat Dino, eh tetangga.

"Eh anak ayah sudah pulang." Vernon tersenyum, berlari kecil dan menunggu ayahnya menurunkan semprotan di tangannya lalu merentangkan tangannya.

Pelukannya selalu hangat, beliau sudah pulang setelah seminggu keluar kota dan rasanya sudah sangat rindu, Vernon merasakan tepukan halus di punggungnya. Rasa aman selalu hadir saat dirinya bersama pria hebatnya ini.

"Yah, kak Cheol habis beli mobil sendiri kemarin."

"Oh ya? Loh tapi motor nya tadi ndak ada."

Vernon membeku sebentar, oh iya. Ini masih rahasia, "hehe Vernon buat belajar tadi muter-muter komplek habis pulang sekolah."

"Yang penting enggak kamu buat pergi jauh aja. Belum punya SIM."

Percakapan panjang lebar itu di lihat oleh Dino dari atas. Membuat sosok itu merenung, Vernon sering ditinggal ayahnya keluar kota dan pantas merasakan rasa rindu begitu, tapi dibanding dirinya, ia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya. Ingin merasakan rindu, tapi ia tidak mengingat apapun. Malangnya..

"Ayah?"

.....

Kali ini Dino dikagetkan dengan sosok cantik di rumah Vernon, yang tiba-tiba saja mengganggu istirahat nya di kamar. "Kamu siapa?"

"Aku yang harusnya bertanya. Kamu siapa?" Sosok itu melempar kembali pertanyaannya. Yah ia sadar, dirinya disini belum lama. Mungkin sosok cantik ini adalah teman Vernon juga, sama seperti Juna.

"Dino." Ucapnya. "Teman Vernon."

"Eii, dia punya teman baru lagi?"

"Sofia." Pekikan itu menyelamatkan Dino.

Sofia, perempuan cantik berwujud noni yang dipanggil itu tersentak dan sedikit menjauh dari Dino sambil menggeleng kuat-kuat "Nee, aku tidak berbuat apa-apa."

"Aku tidak menuduhmu." Vernon berbicara dari jauh. "Kamu kemana saja? Kenapa tidak beri tau aku?"

Sofia mendengus. "Jalan-jalan. Kalau denganmu cuma putar-putar di komplek dan sekolah saja." Ujarnya.

"Ternyata kamu sudah dapat teman lagi." Lanjutnya sambil menyindir Dino disana.

Vernon melirik. "Iya itu temanku. Gak usah iri, dia sama kayak Juna kok."

"Nee, aku tidak iri." Noni itu berbalik, menatap Dino. Kali ini tidak seperti tadi. "Aku Sofia. Adiknya Vernon."

"Heh apa, jangan sembarang."

"Iya iya, aku tapi benar adikmu dulu. Kamu gak bisa nolak itu."

Decakkan Vernon terdengar. "Yaudah, Din temenin gue keluar."

"Kamu tidak mengajakku?" Vernon menutup pintunya, Sofia menatap Dino yang masih takut-takut. "Kamu-"

"Maaf." Dino menghilang setelahnya, meninggalkan noni yang cemberut kesal. Lalu ikut menghilang juga, toh mereka sama sama makhluk.

....

".. disini ada pesta, kecil kecilan. Jailangkung jailangkung, datang tak diundang, pulang tak di antar."

Hening bahkan yang katanya angker dekat dengan pohon beringin besar pun tidak ada aura menyeramkan. Lampu jalanan masih terang benderang, sekolah yang dilingkup malam pun masih terasa ramainya.

"Dah lah cuy, caranya cupu. Gak bakalan ada, cuma mitos tolol."

"Iya lah, udah tiga kali kita ngelakuin beginian gak ada yang berhasil."

Pemegang boneka yang mereka mainkan disana menghela nafas. "Gini deh. Kita selesain dulu. Percuma kalau mau ngonten gini gak dapat apa-apa. Kita bisa kasih editing setingan kek atau apa." Ucapnya kesal. "Kalau belum di selesain, kalian mau di ikutin sampai rumah?"

Dua orang tadi menggeleng lemah. Ada benarnya, selesai atau tidak mereka harus mengakhiri nya juga. Agar tidak terjadi apa-apa.

"Yaudah, pegang nih boneka. Biar gue yang rekam."

'wushhh'

"Anjir bonekanya!"


Peraturan ke... jangan lepas bonekanya apapun yang terjadi.

.tbc.

Oh My Ghost [VerChan/ChanSol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang