Part 3 : Amor Fati.

71 5 0
                                    

Happy Reading, guys❤️

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Cahaya sang surya dari ventilasi membangkitkan seorang pria di balik jeruji besi. Matanya mengerjap perlahan disertai dengan suara ringisan dari bibir pucatnya. Dada bidang itu terasa perih. Terlihat dari pakaiannya yang sobek, ada luka melintang bekas sembilu. Rembesan darah yang mulai mengering tercetak di pakaian lusuhnya. Dinginnya lantai semen ekspos mengubah posisinya menjadi duduk.

Kini, wajah penuh bekas luka itu berhadapan langsung dengan cermin besar. Pria itu mendengkus lalu membuang tatapannya ke arah lorong. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria berpakaian jas lengkap berjalan ke ruangannya sembari membawa nampan. Saat tiba di depan jeruji, pria itu bergegas membuka gembok.

"Makanlah," ujarnya tegas. Ia menyodorkan nampan tersebut kepada si pemuda.

"Kenapa Bapak harus melakukan ini?" Pemuda bermata hazel itu berujar pelan. Tatapannya tidak terlepas dari pria paruh baya yang tengah menuangkan sayur capcay di atas nasi hangat.

Tetapi, pria paruh baya itu tak menanggapi. Dia malah duduk bersila di lantai, berhadapan dengan pemuda itu. "Coba untuk melihat dirimu sendiri." Jari telunjuknya menunjuk dada sang pemuda. "Kamu sudah sangat kurus, Rajendra. Aku bahkan tidak yakin kamu mampu bertahan hidup pada hari-hari berikutnya."

Pemuda yang ternyata adalah Rajendra itu terkekeh sinis. Dia menerima jawaban yang sama setiap hari. Tetapi nyatanya sampai saat ini dia masih bisa hidup normal meski lemah. Kurang lebih dua tahun dia tinggal di balik jeruji besi ini. Menjadikannya kebal akan rasa sakit yang harus dia terima setiap harinya. Bahkan setetes air mata pun tidak lagi keluar dari pelupuk mata ketika mendapat deraan.

"Makanlah. Biar aku obati lukamu."

Aje menggeleng pelan. "Percuma, Pak Satya. Setelah ini, akan ada luka baru. Jangan mengotori tanganmu dengan lukaku," ucapnya.

Pak Satya menghela napas kasar. "Bagaimana pun situasinya saat ini, kamu tetaplah atasanku. Jadi, aku akan memperlakukan kamu sebagaimana mestinya seorang bawahan terhadap atasannya."

Jawaban Pak Satya membuat Aje terdiam seribu bahasa. Pak Satya menatap Aje datar. Kendati begitu, sorot matanya menyiratkan ketulusan. Jauh di dalam lubuk hatinya, Pak Satya merasa kasihan jika harus mendapati luka yang terus memenuhi tubuh Aje. Jika saja bukan karena Aje sendiri yang memohon supaya Pak Satya mau melakukan permintaannya, pasti Pak Satya akan membawa Aje keluar dari tempat penuh penghakiman ini.

"Setidaknya, lakukan ini untuk Tanisha." Pak Satya menatap dalam-dalam netra hazel itu. "Bertahan sebentar lagi, Rajendra. Sebisa mungkin aku akan membantumu."

Aje tersenyum simpul. "Aku... hanya ingin tahu kabar Tanisha saat ini," lirihnya dengan suara bergetar.

Pak Satya mengeluarkan ponselnya dari saku baju. Kemudian, ia menunjukkan foto seorang gadis berhijab pada Aje. "Sejauh ini, dia baik. Meskipun kemarin Alzheimer-nya kambuh."

Alzheimer-Mädchenliebe (Precious Notes From A Kindly Girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang