"Der, gausah lah galau in cewek modelan Jesslyn." Tangan Derryl menepuk bahu temannya yang dipanggil brader itu.
"Damn, tuangin lagi vodkanya!" perintah Ziven pada Derryl.
"Udah bego! lo teler banget anjing nyusahin," tukas Derryl seraya merebut gelas berisikan minuman beralkohol yang hampir masuk lagi dalam mulut Ziven.
Namun sialnya, Ziven malah memuntahkan isi perutnya di baju Derryl.
"What the fuck." Terdengar umpatan Derryl sembari memanggil seorang waiters untuk menitipkan Ziven, selama Derryl membersihkan bajunya di water n closet.
Sepulangnya dari toilet, Derryl sudah tidak bisa menemukan posisi Ziven di tempat mereka tadi. Langsung saja ia mencari-cari Ziven dan waiters yang ia titipi tadi.
"Temen gue yang tadi mana?" tanya Derryl dengan nada panik.
"Maaf mas, tadi ada customer yang manggil saya terus saya tinggal bentar temennya mas udah nggak ada. Saya juga udah berusaha nyari kok mas, tapi kata security-nya, temen mas udah keluar dari club ini."
"Shit," umpat Derryl sontak berlari keluar menuju parkiran.
Sialnya, Derryl tak menemukan jejak sedikitpun. Ia segera mengutak-atik gadget-nya untuk menghubungi Zaky, adik Ziven.
"Zak, abang lo udah balik?" tanya Darryl tergesa.
"Lah kan dia sama lo bang, terus dia dimana?" balas Zaky dengan nada khawatir.
"Kalo gue tau, ngapain gue call lo!"
Derryl memutus panggilan sepihak dan segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.Hanya satu tujuan Derryl sekarang, apartemen Jesslyn.
Sedangkan yang dicari justru keluyuran tak tau arah di pinggir jalan. Ziven dengan kondisinya yang mabuk berat, kini berjalan sempoyongan.
🦕🦕🦕
Srtttt, terdengar begitu jelas decitan suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal.
"Shit." Refleks seorang pengendara mobil setelah hampir saja menabrak pejalan kaki. Ia masih mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Ia bimbang antara mau turun atau tidak, sepengelihatannya tadi, ia tak menabrak orang itu karena remnya begitu pakem.
Tapi kenapa orang itu tak lekas bangun? justru masih terbaring didepan mobilnya.
Alih-alih takut bersalah, justru yang ia takutkan ini hanya modus pencurian yang sedang marak di televisi.Otaknya traveling memikirkan banyak hal negatif, takut jika masalah ini dibawa ke ranah hukum. Dia kalut untuk sesaat, " What the fuck up, mana I belum punya SIM, how bad you are," mulutnya masih merapalkan umpatan untuk kakak sepupunya.
Setelah bergelut beberapa saat dengan pikirannya, hanya 1 solusi yang terlintas di otaknya. Ya meskipun nantinya akan disidang oleh sang ayah, tapi mau tak mau ia harus menelepon ayahnya.
"Halo, Yah!" kata gadis itu setelah sigap menelfon ayahnya.
"Iya dek, kamu lama banget?" jawab ayahnya dengan nada khawatir namun tetap terdengar tegas.
" Yah, don't ask me anymore. I need your help right now." Suara gadis itu pelan, seperti bisikan.
Semasa mendiang ibundanya masih hidup, ia terbiasa berbicara dengan bahasa Inggris dikarenakan sang ibunda bahasa Indonesianya juga fifty-fifty.
Ditambah lagi, ia bersekolah di internasional school yang yang bahasa sehari-harinya bahasa Inggris.
"Share lock, kamu tetap stay di mobil!" perintah ayah gadis itu sebelum bergegas menyusul putrinya.
Gadis itu tetap stay di mobil sesuai arahan, sembari menunggu ayahnya datang. Ia tetap siaga dan waspada pada sekitar, takut jika ternyata dia mempunyai komplotan.
Tak berselang lama, ayah gadis itu datang mengendarai motornya. Menghampiri sang putri untuk turun mengecek siapa yang berada di depan mobil putrinya.
Sang ayah memeriksa denyut nadi cowok muda itu, amannya ia masih bernyawa. Namun, aroma minuman keras begitu menyeruak dari jaket yang dikenakan. Langsung saja sang ayah memberi komando.
"Kamu naik motor ayah ya dek," ujarnya seraya memapah pemuda itu menuju mobil yang dipakai Cia.
"Kamu didepan mobil, biar nggak lepas dari jangkauan pandang ayah."
Cia dengan sigap mengangguk dan menjalankan perintah ayahnya.
"Sure, Yah!"
Jangan heran, jika komando ayah Cia begitu tegas dan terdengar tak terbantahkan. Beliau merupakan salah satu perwira yang beberapa tahun lagi akan pensiun.
Sesampainya di rumah, pemuda tadi sudah dipapah menuju kamar anak pertamanya di sebuah rumah minimalis pribadi.
Beliau memang sengaja tak menggunakan fasilitas yang seharusnya didapatkan, karena baginya fasilitas tersebut akan lebih bermanfaat bagi orang lain yang lebih membutuhkan.
Bunda Patricia Gabriella sudah meninggal 10 tahun lalu, ia juga hanya memiliki 1 kakak laki-laki yang sudah berkeluarga. Alhasil rumahnya begitu sepi layaknya tak ada penghuni.
"Adek, beberes dulu! biarin dia istirahat. Bajunya bau alkohol semua."
"Oh my God, adek forgot to take Martabak mang Rambo. Still in the car, yah. So I'll take it," Suara gadis itu sok manis, merayu ayahnya dengan harap tak dapat hukuman sehabis kabur mengendarai mobil sendiri.
"Biar ayah aja yang ambil, kamu pokoknya buruan mandi bersihin diri!" titahnya seakan tak terbantahkan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatamorgana [Horrible Dragon serial pertama]
Teen FictionSekolah di sebuah kota besar dimana hampir seluruh siswanya sudah termakan westernisasi (terpengaruh oleh budaya barat), baik dalam aspek penampilan maupun gaya hidup. Party bukan lagi hal tabu yang terdengar tidak lazim di telinga mereka. Justru pa...