Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar, Cia dengan sigap menawarkan diri untuk menyambut David dan istrinya.
"Let me open the door, Ayah and Ziven take your time, Okay!." Yaa, tanpa berkenalan secara formal mereka sudah saling mengenal. Akibat ayah yang selalu menyebut nama ketika mengobrol.
Cia berlari membukakan pintu dan langsung memeluk Zidny, istri abangnya.
"Heh, gue ni Abang lo. Harusnya lo peluk gue dulu, baru Zidny." ucap David nyolot.
Zidny terkekeh, "Ci, itu Abang kamu udah kangen berat. Meluknya yang lama sekalian, kalo perlu sampe anak kakak brojol." Canda Zidny seraya mengelus perutnya yang membuncit.
"Yeah, everyone know bang, your sister emang cute, pretty, and looks like Aphrodite. In fact, abang miss me so bad, right?." Setelah mengucapkan statement yang over confident itu David refleks menjitak kepalanya.
"Masih belom sembuh juga penyakit over confident lo ya dek." David menggelengkan kepalanya.
"Heh it's fact ya bang, are you agree with me kak?" rayu Cia berpindah menggandeng Zidny yang tersenyum tulus.
Mereka menyalami Devan, dan menatap Ziven dengan tatapan yang berbeda. Zidny menerawang kembali ke ingatan masa lalunya.
"Eh kamu Ziven kan? anaknya tante Anya?" celetuk Zidny seolah habis menemukan memori yang briliant.
"Iya," jawab Ziven singkat, padat, dan jelas.
"Did you know him?," tanya Cia.
"Iya, dia tetangga kakak."
Mereka hanya menganggukkan kepala setelah mengetahui fakta yang tak begitu penting itu.
"Kalau gitu, saya pamit dulu ya om. Sekali lagi makasih atas bantuannya." Ziven mencium tangan Devan, David, dan Zidny secara sopan.
Cia masih sibuk dengan buah tangan dari Zidny. Ziven merentangkan tangan dengan harapan Cia menyalaminya.
Cia pun refleks mencium tangannya, ia pikir Ziven lebih tua darinya. Ya sebagai bentuk rasa sopan pikirnya.
Namun, Devan, David, Ziven, dan Zidny menatap hal itu cukup aneh.
Cia yang ditatap hanya menatap cengo balik. "Why?"
"Oh nggak papa" jawab Devan mencairkan suasana.
"Kapan-kapan kalau ada waktu main aja kesini Ven!" titah Devan.
"Iya om."
"Oiya, your jacket still wet. You can get it tomorrow when you come here again," celetuk Cia baru ingat.
Padahal Ziven sudah berada diambang pintu, untungnya dia mendengar dan menganggukkan kepalanya.
"Wihh aku coba pudingnya ya Yah," celetuk Zidny memecah keheningan.
🦕🦕🦕
Ziven beranjak keluar mencari taksi, bukan rumah papanya yang dituju, namun pulang ke rumah mamanya.
"Bentar ya pak! uangnya saya minta mama dulu," ujar Ziven pada driver taksi itu setelah berhenti di depan rumah megah berlantai 3 itu.
"Mah," Ziven memasuki rumah, tak lekas mendapat sahutan ia langsung menuju ke belakang.
Ia sudah hafal tabiat mamanya, pasti jam segini kalau nggak nyiram bunga ya ngasih makan kucing.
"Eh Ziven kok udah pulang?" tanya Anya dengan tangan yang masih mengelus kepala kucingnya.
"Iya mah, nanti Ziven ceritanya. Sekarang Ziven lagi ditungguin driver taksi didepan, soalnya belom bayar," jelas Ziven tak berbelit-belit.
"Ambil uang di tas mama yang depan tv sayang," titah Anya yang langsung dilaksanakan oleh Ziven.
Selepas membayar taksi, ia menghampiri mamanya lagi. Menceritakan kronologi kejadian tadi malam dengan 100% kejujuran. Termasuk acara minum alkohol tadi malam.
Sejujurnya ia diperbolehkan minum ataupun pergi ke tempat haram tersebut, namun harus seijin mamanya. Bahkan nggak jarang mereka dugem bareng, namun tak pernah minum lebih dari 2 gelas alkohol.
"Sorry ya mah Ziven nggak sengaja minum lagi, soalnya ya gitu papah tiba-tiba aja mindahin sekolah Ziven ke sekolah Zaky. Kan Ziven jadi susah kalo mau ketemu Jesslyn sama Derryl lagi." Jelasnya dengan nada manja, benar-benar punya 2 kepribadian anak ini.
"Lah, kok Mama nggak tau kamu pindah?"
"Mamah sih, jarang peduliin masalah sekolah Ziven."
"Maaf deh, eh mamah bentar lagi ada meeting Ven. Nanti Jesslyn mama suruh kesini kok buat temenin kamu."
"Oh iya, mama juga nanti bakal nanya ayah kamu tentang sekolah kamu, biar mama yang urusin sekalian," ujar Anya sebelum memasuki kamarnya.
Mamah pun bergegas untuk prepare agar tak terlambat menemui kliennya nanti.
🦕🦕🦕Setelah mamanya berangkat, tak berselang lama Jesslyn datang. Diantar oleh cowok yang baru-baru ini menjadi pacarnya.
"Dianter siapa?," tanya Ziven menatap Jesslyn dari ambang pintu.
"Cowok gue yang baru lah," jawabnya terlampau santai. Jesslyn tau Ziven menyukainya sejak SMP, tapi ia berpura-pura tak tahu saja. Karena memang Ziven tidak masuk kriteria cowok nya.
Lagipula Ziven bukan cowok yang enak dijadiin pacar, jadi temen aja udah ribet apalagi jadi pacar. Makin-makin deh ngerepotin hidup dia, pikir Jesslyn.
"Anak mana tuh Jes?," basa-basi Ziven memulai percakapan.
"Andromeda,"
"Kok bisa sih Lo kenal anak-anak sekolah lain mulu?,"
"Makanya punya mulut itu difungsiin yang bener, biar punya banyak temen. Masa temen Lo cuma gue sama Derryl doang," ejek Jesslyn.
"Bacot ah Jes,"
"Gue cariin cewe Ven, anak Andromeda juga. Kemarin gue sempet kenalan sama circle cowok gue."
"Nggak minat," balasan ini yang paling Jesslyn males, padahal Jesslyn pengen banget Ziven punya cewek. Seenggaknya biar beban hidup Jesslyn berkurang lah.
Padahal sebenarnya Mamah Jesslyn dan Mamah Ziven itu mau jodohin mereka, cuman sebelum hal itu terjadi. Jesslyn udah langsung nolak mentah-mentah. Buat Jesslyn, temen ya temen aja. Nggak bisa lebih.
Jesslyn masih asik dengan gadgetnya.
"Gue dipindahin Andromeda, mulai besok udah berangkat." Celetuk Ziven.
"Oh soal itu, Zaky udah bilang kok ke gue."
"Gila ya Lo, nggak ada sedih-sedihnya." Ziven menggelengkan kepala pelan, tetap pada ekspresi wajah coolnya.
"Lo telfon Derryl noh, nyariin lo dia semaleman."
"Lo nggak nanya, semaleman gue dimana?"
"Tanpa gue tanya, pasti juga Lo ngebacot." Benar-benar cewek satu ini, mulutnya nggak ada filter sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatamorgana [Horrible Dragon serial pertama]
Fiksi RemajaSekolah di sebuah kota besar dimana hampir seluruh siswanya sudah termakan westernisasi (terpengaruh oleh budaya barat), baik dalam aspek penampilan maupun gaya hidup. Party bukan lagi hal tabu yang terdengar tidak lazim di telinga mereka. Justru pa...