Maaf Sayang

1K 159 27
                                    

Raya Janari POV

     Ku menghela nafas, lagi. Tidak tahu sudah yang ke-berapa, kegiatan ini terus berulang. Dengan memasukkan anggur ruby roman pemberian Tama tadi, membujukku agar tidak marah berlebih, tapi sayangnya aku masih marah.

     Meski sudah di suap dengan anggur kesukaanku, aku tetap kesal. Memang benar jika Tama meminta maaf kepadanya, merenungi kesalahan yang telah ia lakukan, dan sebab yang ia berikan kepadaku, Istrinya. Jika dimarahi balikpun, Tama tak pernah membentak balik dengan nada suara naik beberapa oktaf.

     Dia selalu membalas dengan...

     "Maaf, sayang. Aku salah." Tidak mencoba membuat alasan, ataupun menjelaskan suatu alasan ia berbuat salah. Itu yang membuatku kadang-kadang kesal, dengan diriku sendiri. Hanya karena satu kata itu, aku jadi tidak marah, emosi yang semula meluap bisa padam detik itu juga.

     Hanya saja, kali ini berbeda. Aku tidak akan kalah, akan fatal jika Suamiku itu terus menerus ikut campur dalam masalah perusahan interior nya. Dengan memasukkan kembali buah anggur kedalam mulutku, aku mengangguk, bertekad untuk tidak luluh kali ini.

     "Sayang, jika anggur milikmu sudah habis, kau bisa ambil di goodie bag dekat laci, ada beberapa lagi yang ku beli, habiskan saja."

    Suara berat yang teduh, dibarengi pintu kamar mandi yang tertutup kembali, memasuki relung telinga miliku. Aku menoleh dengan mata sinis, melihat Suamiku telah menggunakan piyama hijau army dengan bagian dada yang terbuka, aku mendengus memalingkan wajah, masih kesal.

     "Kau masih marah ternyata." Ia menghela nafas melihat tingkahku, dia berjalan kesini, karena perlahan aku dapat mencium aroma sabun miliknya; wangi cendana.

     Dia berdiri di hadapanku, yang tengah duduk di pinggiran kasur. Lima buku jari miliknya, mengelus rambutku, "Maaf ya, sayang. Aku memang sok tahu."

     "Memang adanya seperti itu, Tama." Aku menatap matanya, dia tersenyum. Kepalanya membungkuk sedikit, mengecup keningku lama.

     "Aku tahu, sayang. Jadi tolong maafkan aku ya."

     "Bukan sekali dua kali kau melakukan ini, Tama." Balasku lagi. Kulihat dia menghela nafas, tubuhnya ia turunkan kebawah, berjongkok; mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku.

     Mengelus lembut pipiku, ia tersenyum. "Iya, sayang. Aku tahu aku sudah melakukan ini beberapa kali, lebih mungkin dari lima kali? Kurasa. Aku minta maaf ya, sayang. Ini yang terkahir, ku janji."

     Aku tak berniat menjawab. Ku dapati ia menghela nafas kembali.

     "Raya. Aku minta maaf ya, sayang. Berhenti marah padaku." Lanjutnya sembari mencium tangan kanan ku pelan, yang tak tahu sejak kapan sudah di pegangnya.

     Aku memutar bola matanya malas. "Jangan panggil aku Raya, panggil aku sayang saja."

     Ku dapati, Tama tersenyum. "Iya, sayang. Atau haruskah ku memanggilmu dengan Janari? Atau Langgam, ya?"

     "Berhenti bercanda, Tama. Panggil aku sayang saja." Argumenku. Tama semakin tersenyum, aku jadi tidak bisa menahan senyumku. Kami berakhir tersenyum bersama. Tanganku terulur memeluk lehernya. "Kapan aku bisa marah lama padamu, Tama."

     "Aku sudah mengganti kerugiannya." Bisiknya di sela sela pelukan kami.

     Mengurai pelukan, aku memandangnya dengan kening mengerut, "aku tak mengalami kerugian, Tama."

     "Kerugian bagiku, karena kau marah lebih lama dari biasanya. Nanti Jeremy atau Sania mungkin menghubungimu. Tolong, berhenti marah padaku ya, sayang."

     "Tama..." Aku tidak tahu harus menyikapi seperti apa.

     "Maaf, sayang. Aku selalu membuatmu marah agar kau bisa selalu bersamaku, tanpa ada hambatan pekerjaan. Kau tahu, aku mencintaimu."

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang