Jika ada yang lebih menggambarkan sebuah kebahagian bagi Raya, itu adalah sekarang. Dengan angin pagi yang menyapu wajahnya, senyuman itu terpatri. Ke-dua; dalam ke-lima buku jari kanan dan kiri miliknya, Raya mempererat pelukan hangat dari sang suami.
Tama sedikitnya membuyarkan sebuah tawa pelan, "Kita perpanjang aja deh ini date hot bathup nya, sayang." Ujarnya.
Merotasikan bola mata hitamnya, Raya membalas. "Kamu aja di sini diem, aku mau sarapan habis ini."
"Bercanda, sayang." Mengecup pelan pundak sang Istri yang berada dalam dekapan kedua lengan kekarnya. "Aku kalau lagi mesra-mesraan gini suka kepikiran, kita bakalan gini terus gak ya besok, lusa, atau bahkan nanti. I don't know why I always think that way, maybe it's because I lack a lot to be your husband? Possible."
Raya melepas genggaman itu, ia yang semula menerima dengan hangat dekapan sang suami, berbalik. Sedikitnya beradu pandang dengan tatapan mata milik Tama. Ia mendekatkan diri pada dada bidang telanjang suaminya, berusaha meniduri melodi alunan jantung Tama. "Kenapa sih, kamu mikirnya kayak gitu terus. Kamu kan selalu bilang juga ke aku kalau aku lagi overwhelmed sama sesuatu pikirin kenangan kenangan indahnya."
"Kadang malah sebaliknya, ketika kamu selalu mikir gitu, aku, istri kamu selalu ngerasa kalau kamu mikir kayak gitu, aku yang gak pantes buat di bilang sebagai istri yang baik, Tama." Lanjutnya.
Tama diam, ia seperkian detik berikutnya kembali mendekap Raya yang tengah bersandar di dada nya, memberikan setidaknya sebuah pelukan penambah hangat, di saat air dalam bathup yang sudah mereka masuki itu sama hangatnya.
"Kenapa kok gak ngomong lagi?" Imbuh Raya dengan nada sedikit menuntut.
Di kecup nya bagian dari Istrinya yang lain, puncuk kepala. Tama mengusap-usap belakang punggung Raya yang sedang dalam pelukannya. "Aku mau jawab gimana, orang penyataan yang kamu buat udah jadi penerang bahwa aku gak perlu terlalu over mikirin hal yang gak akan terjadi." Balas Tama.
Dalam satu tarikan nafas, Tama kembali melanjutkan dengan sedikit kepala yang tertunduk, memandang Raya yang menegadah; menatap dirinya dalam pelukan di air hangat. "Aku sayang kamu, dan kamu sayang aku udah jadi bukti bahwa overthinking aku gak ada guna, setiap masalah juga gak jauh-jauh dari aku yang terlalu posesif dan kamu yang cuek, aku yang suka nunjukin bahwa kamu milik aku dan kamu gak terlalu, meski gitu...."
"... Aku rasa itu udah cukup, kan? Aku, kamu, sama masa depan yang akan datang. Kita harus, dalam garis takdir, untuk selalu sama-sama."
Raya menarik pandangan, ia kembali membenamkan diri dalam dekapan Tama, suaminya. Sedikitnya ia bersua, "aku sayang kamu itu semua orang juga udah tau."
Tama tertawa, dengan melodi dan nada yang lebih naik. Ia memandang buku buku jarinya yang kian mengeriput karena terlalu lama berendam. "Kamu gak mau udahan aja? Katanya tadi mau sarapan."