One to Cell 1

6.7K 79 0
                                    

Ducan Grantland adalah laki-laki miskin berusia awal 20-an. Setelah sang ayah meninggal 3 tahun lalu karena bunuh diri, Ducan hanya tinggal bersama ibunya di sebuah rumah sederhana beratap bocor.

Karena miskin, hidup Ducan beserta ibunya jauh dari kata bahagia. Karena tidak lulus sekolah, Ducan harus bekerja serabutan setiap hari untuk membantu ibunya melunasi utang sang ayah yang menggunung. Kadang kala, Ducan bersama ibunya tidak makan seharian karena uang hasil bekerja mereka harus disetor kepada rentenir setiap hari. Adakalanya Ducan nyaris mati dipukuli para rentenir sebab tidak bisa memberi mereka uang yang sesuai dengan kesepakatan. Meskipun begitu, Ducan selalu semangat menjalani hari-harinya.

Suatu hari, Ducan baru saja pulang dari pasar setelah seharian bekerja sebagai kuli panggul. Karena mendapat hasil yang lumayan dari pekerjaannya hari itu, Ducan berniat memberikan sebagian uangnya pada sang ibu untuk membeli makan enak. Akan tetapi, ketika sampai di rumah, Ducan malah mendengar jeritan ibunya yang begitu ketakutan. Sebab hal itu, akhirnya Ducan tahu bila ibunya hampir saja diperkosa oleh salah satu rentenir yang setiap hari menagih uang padanya.

Ducan yang kepalang panik melihat ibunya diperlakukan tidak senonoh, langsung melayangkan tinjuan kepada wajah si rentenir brengsek. Namun siapa sangka bila pukulan Ducan malah tidak berefek apa-apa. Yang ada, si rentenir brengsek justru tersulut emosi dan menendang dada Ducan hingga tubuhnya terdorong ke tembok lusuh di belakang.

Meskipun sakit, Ducan tetap memaksakan diri untuk bangkit dan menyelamatkan ibunya. Kali ini, ia dibanting ke lantai hingga punggungnya dijerat rasa nyeri. Ducan mengerang marah, tangannya tanpa ampun memukul wajah si rentenir brengsek. Akan tetapi, Ducan dikalahkan lagi sebab tubuhnya di lempar ke arah lemari dengan begitu kuat. Kini, darah tampak keluar dari mulut Ducan.

Dalam posisinya yang terduduk menahan sakit, Ducan melihat si rentenir brengsek sudah mendekati ibunya lagi. Tahu jika ia akan kalah lagi kalau melawan si rentenir dengan tangan kosong, Ducan berlari menuju dapur dan mengambil pisau.

Tanpa sepengetahuan si rentenir brengsek, Ducan langsung menusuk punggung si rentenir sebanyak puluhan kali, membabi buta, tanpa ampun, hingga darah muncrat ke mana-mana.

Saat rentenir itu mati, Ducan segera meminta ibunya untuk pergi, sebab ia akan mengurus mayat si rentenir brengsek sendiri. Namun sial, setelah ibunya pergi, teman si rentenir tiba di rumah Ducan dan langsung melapor polisi. Kurang dari setengah jam kemudian, Ducan dijemput dengan 4 orang polisi, diperlakukan seolah-olah dia pembunuh berantai padahal yang dilakukan adalah menyelamatkan ibunya.

Setelah kejadian itu, hidup Ducan di dalam penjara dipenuhi dengan berbagai kejadian, dari yang mengerikan, menyakitkan, hingga yang membuatnya nikmat tidak tertahankan.

---

Bersama 3 orang polisi dan 2 tahanan lain, Ducan berjalan di lorong sel penjara yang isinya menatap takjub ke arahnya. Ini adalah pengalaman baru yang sangat mendebarkan. Dengan baju tahanan bernomor 0312, Ducan melangkah menuju sel-nya seraya membawa sebuah kotak berisi beberapa baju tahanan untuk gonta-ganti, alat mandi, serta obat-obatan. 2 orang tahanan yang tiba bersamanya sudah masuk ke sel masing-masing setelah polisi yang membuka pintu sel mempersilakan mereka masuk. Sementara Ducan, masih harus menaiki tangga dan berjalan lagi beberapa langkah untuk tiba di sel tujuan bernomor 78.

Sama seperti di lantai bawah, di lantai ini pun para tahanan di dalam sel menatap Ducan dengan pandangan takjub, seolah mereka belum pernah melihat laki-laki seperti Ducan. Padahal saat ini, Ducan berpenampilan sama seperti mereka. Memakai baju tahanan.

Polisi yang berjalan di depan Ducan berhenti di depan sel tahanan bernomor 78. Ducan menunggunya selesai membuka pintu sel tahanan, kemudian tanpa bicara apa-apa lagi, langsung masuk ke dalam ruangan yang ternyata penghuninya menyambut dengan sangat baik dan hangat.

Suara pintu yang dikunci kembali terdengar, lalu langkah sol sepatu polisi yang menghentak lantai mulai menjauh. Ducan dituntun menuju tempat tidurnya yang berada di bawah.

Sejenak dipandanginya tempat yang akan menjadi rumahnya selama beberapa tahun ke depan. Meskipun tidak begitu besar, bisa dibilang sel tahannya ini cukup nyaman. Di sisi kanan dan kiri terdapat sebuah tempat tidur tingkat. Total untuk 4 orang penghuni. Dan di sisi belakang, ada sebuah kamar kecil berisi WC. Sementara Di sisi kanan kiri pintu, berdiri 4 buah lemari susun berisi tiga laci.

"Tahanan nomor 0312, siapa namamu?" Ducan menoleh ke arah seorang yang bertanya. Dipandanginya sosok kurus berkacamata itu. Meskipun dia seorang tahanan, penampilan jauh dari kata kumal. Rambutnya klimis dan disisir rapi, bajunya agak kebesaran, tapi nampak bersih.

"Ducan Grantland," jawab Ducan.

"Aku Alberto, tahanan nomor 0309." Dia memperkenalkan diri, kemudian menunjuk seseorang yang duduk di tempat tidur atas, tepat di atas Ducan. "Kalau dia Marcus, tahanan nomor 0311."

Kini, Alberto menunjuk satu orang lagi yang juga duduk di tempat tidur atas, berseberangan dengan tempat tidur Marcus. "Nah, kalau dia Miller, tahanan nomor 0310." Alberto tersenyum ramah. "Kamu tidak perlu khawatir satu sel dengan kami, karena kami tidak separah penghuni sel tahanan lain, pun tidak ada perpeloncoan di sel ini. Asal kamu tidak membuat masalah," kata Alberto.

Mendengar hal itu, tentu saja membuat Ducan tenang. Karena selama di perjalanan menuju sel tahanan ini, pikiran laki-laki itu dipenuhi dengan berbagai macam tindakan keji yang bisa saja diterimanya dari teman-teman baru satu selnya. Namun untungnya, Ducan mendapatkan teman yang baik.

"Letakan barang-barangmu di situ. Sekarang lemari itu untukmu," ucap Alberto menunjuk lemari di paling pojok kanan.

"Terima kasih Alberto." Kemudian Ducan menyusun barang-barangnya di sana.

"Alberto." Dikala Ducan sibuk melipat kembali baju gantinya yang acak-acakan sebelum dimasukkan ke lemari, Ducan mendengar seseorang memanggil Alberto dengan nada berbisik, tetapi masih dapat Ducan dengar.

"Kita harus memberitahunya sekarang. Agar dia bisa bersiap-siap." Ducan tidak tahu itu suara siapa, karena pandangan Ducan hanya lurus menghadap lemari, dan apa yang sedang mereka bicarakan, Ducan sama sekali tidak tahu.

"Nanti saja, dia harus beristirahat sekarang," balas Alberto.

Ducan telah selesai menyusun barang-barangnya di dalam lemari. Melihat Alberto, Marcus dan Miller yang menatap ke arahnya secara bersamaan, Ducan tersenyum sopan.

"Sebaiknya kamu istirahat dulu, Ducan. Sebelum makan malam, aku akan memberitahumu suatu hal."

Ducan yang tidak mau menambah pusing pikirannya, memutuskan untuk nurut dan merebahkan tubuhnya di kasur di bawah Marcus. Dia memejamkan mata, dan tidak menyangka, bahwa tidak butuh waktu lama untuk dirinya pergi ke alam mimpi.[]

---

Jangan lupa follow pyn_id, vote dan komen.

Story of Ducan [BXB 21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang