Ducan masih ingat, ketika dia bangun setelah kejadian di toilet, laki-laki itu mendapati dirinya sudah berada di ruang kesehatan. Ada Alberto, Marcus dan Miller yang ternyata tengah menjenguknya.
Selepas beristirahat hampir 1 hari full di ruang kesehatan, dan dahinya yang terluka sudah diobati oleh seorang dokter yang memang bertugas di dalam penjara itu, Ducan bisa kembali ke sel-nya dan masih harus beristirahat selama beberapa hari lagi. Sehingga masa-masa itu menjadi hari paling disukai Ducan semasih berada di penjara. Pasalnya, Ducan tidak pernah melihat Regulus lagi, pun teman-teman satu sel-nya tidak pernah ada yang menyinggung soal laki-laki itu. Rasanya hidup Ducan berangsur baik-baik saja, semoga semuanya berjalan lama, kalau bisa selamanya.
Hari ini, sesudah berisitirahat selama 3 hari di dalam sel, dan tidak pernah keluar sama sekali. Akhirnya Ducan menginjakan kaki di lapangan saat jam pagi di mulai. Ia masih belum mandi, niatnya akan bersih-bersih setelah kamar mandi lebih sepi. Dan untungnya, pagi ini Ducan masih tidak melihat keberadaan Regulus, hanya beberapa anak buahnya seperti Roger yang kini sedang bermain sepak bola dengan beberapa tahanan.
Di pinggir lapangan, Ducan duduk sejajar dengan Miller dan Marcus, sementara Alberto memutuskan untuk mandi duluan. Pagi itu, matahari memang sudah menyingsing di atas langit, namun panasnya tidak sampai benar-benar membakar kulit. Cuaca pagi ini terbilang sejuk, angin sesekali berdesir membuat rasa nyaman hinggap.
Miller yang berada di sebelah kiri Ducan menyenggol lengan laki-laki itu, memintanya untuk menoleh ke arah seorang tahanan yang dia tunjuk. Sekarang Ducan menatap pada seorang laki-laki super gendut, jalannya sangat pelan karena terlalu sulit membawa tubuhnya yang sangat besar. Ketika masuk ke lapangan, tahanan obesitas itu berniat duduk di sisi lain lapangan yang tidak terkena sinar matahari, tapi belum sempat dia menjalankan niatnya, seorang tahanan lain sudah lebih dulu merangkul tahanan obesitas itu, kemudian memaksanya untuk lari keliling lapangan.
"Dia Neo, baru masuk dua hari yang lalu waktu kamu masih memulihkan diri di sel," ucap Miller. "Dia dipenjara karena membunuh anak kecil."
Ducan agak terkejut mendengarnya, sebab orang yang memiliki tampang seperti Neo tidak terlihat seperti seorang pembunuh. Akan tetapi, tampang bukan patokan untuk mengukur sifat asli seseorang. Contohnya seperti Regulus, walaupun berwajah malaikat, sifatnya jauh lebih kejam daripada iblis.
"Padahal dia kelihatan baik," kata Ducan.
"Memang, tapi seseorang bisa menjadi jahat kalau sudah sangat tersakiti. Seperti yang dilakukan Neo, dia tidak akan membunuh kalau saja anak kecil itu tidak mengejeknya selama berbulan-bulan." Marcus ikut masuk ke dalam pembicaraan.
"Meskipun aku tidak pernah mengalaminya, tapi aku paham apa yang Neo rasakan. Dia sudah cukup tersiksa dengan dirinya sendiri, tapi masih harus dihadapi sama perkataan menyakitkan seseorang." Ducan menghela napas prihatin terhadap Neo, padahal hidupnya sendiri juga tidak jauh berbeda. Sama-sama menyiksa. "Omong-omong, Neo sendiri yang cerita padamu soal alasannya masuk penjara?" tanyanya pada Miller.
Miller mengangguk. "Saat baru tiba di penjara ini, aku yang paling pertama mengajaknya bicara. Terus tanpa diminta dia langsung bercerita."
Saat Ducan mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Miller, Marcus tiba-tiba menyeletuk, "Dia menjadi budaknya Regulus. Sama sepertimu, Ducan."
Ducan agak terkejut mendengar hal itu. Segala pertanyaan dan harapan langsung berterbangan di dalam kepalanya.
"Semoga saja dengan adanya Neo, Regulus tidak terlalu fokus memerintahmu, Ducan." Ducan sangat menginginkan hal itu, atau lebih baik lagi jika Regulus melepas predikat budaknya. Karena Ducan juga manusia, dia tidak munafik untuk mengharapkan sebuah kebebasan.
"Nanti mau kuantar ke ruang kesehatan? Hari ini jadwal kamu ganti perban bukan?" Marcus menunjuk perban yang menutupi luka di kening Ducan.
"Tidak usah, Marcus. Aku bisa sendiri. Terima kasih tawarannya." Ducan membalas dengan seulas senyuman, agar Marcus tidak marah karena ia menolak tawarannya.
Lalu setelah itu, Ducan melihat Regulus masuk ke dalam lapangan dengan kedua tangan yang terkurung di dalam saku celananya. Pagi ini, meskipun Ducan tahu kalau laki-laki itu masih belum mandi, dia tetap terlihat seperti seorang malaikat--kalau saja Ducan tidak mengetahui kelakuan iblisnya--dan tatapan keduanya beradu selama beberapa detik, sebelum kemudian Regulus memalingkan pandangannya ke arah lain dan tidak memedulikan Ducan.
Ducan bersyukur Regulus tampak tidak tertarik untuk menggubrisnya, sehingga ia juga tidak peduli ketika Regulus memerintah Neo yang sedang kehabisan napas--setelah berkeliling lapangan--untuk segera tengkurap. Kemudian yang terjadi selanjutnya, Regulus duduk dia tas tubuh gendut Neo seolah menduduki sebuah sofa empuk yang begitu nyaman.
Meskipun kasihan melihat Neo diperlakukan seperti itu, Ducan jauh lebih kasihan dengan dirinya sendiri yang hampir mati di kamar mandi setelah Regulus memperkosanya (?) dengan keji.
Daripada muak berada di dalam satu ruangan yang sama dengan orang yang dia benci, Ducan memutuskan untuk pergi dari sana. Entah menuju ke mana, asal tidak ada Regulus di tempat tersebut, ia merasa cukup. Dan untungnya, tidak ada yang mencegah.
---
Setelah memutuskan untuk cepat-cepat mandi, Ducan pergi ke ruang kesehatan buat mengganti perban di keningnya yang memang harus diganti. Saat tiba di ruang kesehatan, Dokter Bram menyambutnya dengan sangat baik.
"Ternyata lukanya kering lebih cepat, Ducan. Jadi saya beri plaster saja, ya. Tidak usah diperban lagi." Ducan menyetujuinya pernyataan Dokter Bram, sebab ia pun merasa kurang nyaman saat ada perban di keningnya.
Ketika plaster sudah menempel baik menutupi luka gores di dahi Ducan, Dokter Bram mengambil sebuah snack bar rasa cokelat dan memberikannya pada Ducan.
"Habiskan di sini," katanya.
Ducan tersenyum sambil mengangguk. "Terima kasih, Dokter."
"Sama-sama." Dokter Bram menyahut sambil duduk di kursinya lagi.
Saat pertama kali Ducan bangun di ruangan ini, Dokter Bram selalu memperlakukannya dengan baik. Dia bilang, Ducan seumuran dengan anak laki-lakinya. Jadi ketika melihat Ducan, ia merasa melihat anaknya sendiri.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu sampai berada di penjara ini, tetapi saat pertama kali melihatmu, aku yakin kalau kamu anak yang baik," ucap Dokter Bram.
Ducan tersenyum. "Aku tidak sebaik kelihatannya, Dokter Bram. Aku berada di sini karena membunuh seseorang."
"Siapa yang kamu bunuh?" tanya Dokter Bram.
"Seorang rentenir, dia berniat memperkosa ibuku. Jadi aku membunuhnya."
Dokter Bram tersenyum. "Seperti dugaanku, anak sepertimu berada di sini bukan hasil dari perbuatan senang-senang. Kamu menyelamatkan ibumu, Ducan. Kamu anak yang baik."
Ducan agak terharu mendengar Dokter Bram menyebutnya anak baik.
"Omong-omong, Dokter."
"Iya?"
"Waktu ... aku pingsan, siapa yang membawaku ke sini?"
"Oh, Regulus. Dia menemukanmu pingsan di kamar mandi, lalu membawamu ke sini."
Tentu saja Regulus tidak akan mengatakan yang sejujurnya. Karena apa yang dia perbuat kepada Ducan di kamar mandi adalah tindakan yang gila dan tak berperasaan.
"Kalau begitu, aku pergi, ya, Dokter. Sebentar lagi jam pagi akan selesai. Aku harus ke ruang pengrajin."
Dokter Bram mengangguk. "Iya. Terima kasih sudah berkunjung, Ducan."
"Ah, harusnya aku yang berterima kasih. Terima kasih sudah mengobatiku, dan terima kasih untuk snack bar-nya," ucap Ducan. Kemudian dia keluar dari ruang kesehatan.[]
---
Jangan lupa follow pyn_id, vote dan komen cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Ducan [BXB 21+]
Fanfic[BXB 21+] Berisi 5 cerita berbeda yang penuh gairah, di mana semua tokoh utamanya memiliki nama yang sama, yaitu: Ducan. Judul cerita: 1. One to Cell 2. The Trees Sing 3. Boy Next Door 4. Doctor and Me 5. My Brother's [HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN. BE...