Stevi menatap bergantian dua orang yang masih mematung di depannya dalam diam. Beberapa detik setelahnya kakinya melangkah, tangannya mengambil alih plastik-plastik dari genggaman Shaila.
"Pergilah bicara dengannya. Biar aku yang menahan Regi." Bisiknya sebelum berlalu memasuki rumah singgah.
Kaki Shaila maupun Braga belum beranjak sedikitpun dari pijakan mereka. Shaila menghela napas sebelum memberanikan diri melangkah lebih dulu. Jika dia tak memulai maka waktu mereka akan habis secara cuma-cuma.
"Kau ada di sini?" Ujarnya memulai perbincangan.
"Aku mencarimu. Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik. Ada yang ingin kubicarakan. Bisa kita pergi dari sini?"
Braga mengangguk kaku. Kembali masuk ke dalam kursi kemudi yang diikuti Shaila yang menduduki kursi samping kemudi. Braga melajukan mobilnya. Cukup lama hening diantara keduanya.
"Di mana Shaila?"
"Pergi bersama Pak Braga mencari kebutuhan wanita. Kita melupakan itu tadi." Jawab Stevi dengan tenang. Tangannya meletakan plastik bawaannya di atas meja makan. Menggabungkannya bersama hasil jarahan mereka yang lainnya.
"Apa yang kita lupakan? Aku yakin sudah mengambil semuanya. Persediaan makanan dan obat-obatan."
"Pakaian dalam dan pembalut. Kita melupakan itu."
Seketika Regi terbungkam. Tangannya kembali sibuk menata persediaan makanan mereka.
"Aira berhasil ku amankan. Sekarang bagaimana? Kau mengambilnya karena butuh lalu membuangnya setelah tak membutuhkannya lagi. Ayahnya menitipkannya padaku sebelum dia pergi. Dan Mayor Jenderal sedang memburunya karena dia butuh antibodi Aira. Hanya aku yang tulus menjaganya tanpa mengharapkan sesuatu darinya. Jadi sekarang dia milikku bukan?"
"Kau mengajakku berbincang untuk membicarakan Aira?"
"Tidak. Itu hanya satu dari beberapa tujuanku."
"Sayangnya, bukan itu yang ingin kubicarakan padamu, Anna,"
"Tak ada sangkalan darimu? Baiklah. Kuanggap kau telah menyerahkan Aira padaku. Prihal kedua, aku---"
"Bisakah kita membicarakan masalah pribadi kita dulu?"
"--- Aku tak ingin Reginald tahu bahwa aku putrimu. Tidak, aku tak ingin dia tahu bahwa aku bukanlah Adik kandungnya. Jadi tolong rahasiakan ini darinya. Juga dari seluruh dunia. Aku hanya ingin hanya aku, kau, dan Dokter Danzel yang mengetahuinya. Dan mungkin juga Letnan Kolonel Stevi, dia sudah tahukan?"
Hati Braga serasa mencelos mendengar permintaan Shaila.
"Aku tak ingin hubunganku dengan Regi merenggang karena kebenaran tak masuk akal ini. Jadi kumohon, biarkan dunia tahu bahwa aku hanyalah putri tunggal keluarga Garcia yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang."
"Mau disangkal seperti apapun tidak akan memungkiri bahwa kau putri kandungku Shaila."
"Aku tahu. Tapi bisakah kau melakukan itu demi aku? Putri kandungmu yang kau tinggalkan bersama keluarga lain."
"Aku punya alasan kuat untuk itu. Jadi dengarkan aku dulu,"
"Aku tak membutuhkannya. Biarkan aku merasa bahwa aku terlahir dari keluarga Garcia. Biarkan aku melanjutkan kehidupan normalku, sebelum bertemu denganmu."
Kali ini Braga merasa tercabik melihat tatapan Shaila. Bagai ada benda tak kasat mata yang menyayat hatinya. Sakitnya melebihi rasa sakit tersayat pisau secara nyata.
"Bersikap seolah kau hanya mengenalku sebagai gadis pembuat onar, tak lebih dari itu."
"Aku tak bisa."Mobil berhenti melaju. Braga tak bisa membagi fokus, jika dipaksa mungkin mereka akan berakhir kecelakaan di jalan yang lenggang ini.
"Aku tak bisa." Matanya kini memanas. Dan Shaila menyadarinya.
"Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Kumohon Shaila."
"Kau pasti bisa. Dulu kau bisa membohongi dirimu sendiri. Meninggalkanku dan istrimu di Rumah Sakit tanpa perlindungan. Kau membiarkan mereka berjuang sendiri tanpa bantuanmu. Lakukanlah. Ulangi lagi perbuatanmu 18 tahun lalu itu. Aku yakin kau bisa melakukannya. Jika dulu bisa kenapa sekarang tidak? Apa ada yang berubah dari kedua hal itu? Tidak, hanya waktu dan masa yang berubah. Tapi keadaannya tetap sama. Iyakan?"
"Berhentilah. Kau sudah cukup menyakiti hatiku."
"Rasanya sakit? Benarkah? Kurasa perasaanku yang lebih sakit ketimbangmu."
"Kubilang cukup."
"Bagaimana rasanya? Hatimu tercabik? Tenggorakanmu sakit saat teriakanmu tertahan tanpa bisa keluar dengan bebas? Atau duniamu serasa berhenti?"
"Apa yang membuatmu membenciku sampai segininya?"
"Banyak." Ujar Shaila setelah lama terdiam. Matanya masih menyelami netra dengan warna berbeda dengannya itu lamat-lamat.
"Sebutkan agar aku bisa menjelaskan dan memperbaiki semuanya."
"Tidak. Kau tak akan mengerti. Pemikiran kita bertolak belakang. Sampai kapanpun aku tak bisa memahamimu. Dan kau tak bisa memahamiku." Air mata Shaila luruh dengan alis yang bertaut menahan isak.
"Shaila---"
"Panggil aku sepuasmu karena kau tak akan bisa memanggilku lagi setelah kita kembali ke rumah." Shaila membuang pandang ke depan.
"Tidak---"
"Panggil aku Anna sepuasmu. Panggil. Ayah."
Tes!
Air mata Braga ikut luruh. Tak kuat lagi menahan sesak di dadanya.
"Anna," Perlahan bibirnya bergumam.
"Anna," Lalu suaranya terdengar semakin jelas.
"Anna,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)
Teen Fiction# Unexpected Meeting: Second Leaf adalah sequel dari cerita sebelumnya yang berjudul Unexpected Meeting: Farewell. Diharapkan baca book 1 nya terlebih dahulu sebelum membaca book 2 (cerita ini). # Selamat membacanya!!! --- Aku kira semua akan membai...