NINE

68 17 6
                                    



Lamunanku buyar saat ruangan yang tadinya dipenuhi dengan celotehan Aira tiba-tiba berubah hening. Kepalaku mendongak, menatapnya yang juga tengah menatapku.
      
"Suster kau kenapa?"
      
"Lohh... Aira, kau yang kenapa? Kenapa tiba-tiba berhenti berceloteh?"
      
Keterdiaman Aira menarikku ke bangsal pesakitannya.

"Kenapa?" Tanyaku setelah duduk di tepi bangsal.
      
"Kakakmu ada di sini. Apa dia mau membawamu pergi dari sini?"
      
"Tidak. Dia tidak akan hanya membawaku. Dia akan membawa kita semua ke tempat yang aman."
      
"Di mana Tentara yang waktu itu berbicara denganku di alat yang kau berikan? Aku hanya mau dia yang menjemputku. Di mana dia Suster?"
      
Aira mengingat Regi.
      
"Tentara itu namanya Regi. Dia juga Kakakku, nahh yang baru datang itu namanya Erza, dia juga Kakakku. Mereka berdua baik Aira."
      
"Di mana Tentara Regi? Kenapa dia tak ada di sini? Katanya dia yang akan membawaku ke tempat yang aman,"
      
"Dia sedang menjalankan misi berat. Dia akan segera kembali,"
      
Bisakah aku menganggap kepergiannya begitu? Agar akhir cerita kami berakhir indah. Agar cerita ini tak terlalu sedih. Dan agar dapat dikenang sebagai kenangan indah, bukan kenangan menyakitkan yang hanya dapat menyiksa batin.
      
"Jadi kita tunggu dia saja kan?"
      
Suara Aira menarikku paksa dari lamunan.

"Kau maunya hanya bersama dia?"
      
Kepala dengan rambut yang dikepang satu itu mengangguk dengan wajah polos.
      
"Baiklah, kita tunggu dia."
      
Regi lihat, kami berdua menunggumu. Jadi cepatlah datang. Jangan membuat waktu kami terbuang sia-sia hanya untuk menunggumu.

***

"Regi, kau mendengarku? Aku dan Aira sampai dengan selamat di rumah Kolonel Braga. Rumahnya sangat luas, Aira juga menyukainya. Erza dan beberapa pasukannya datang ke mari tadi. Mereka berniat menjaga kami. Tapi Aira bilang dia hanya ingin ikut denganmu. Aku harus bilang apa padanya?"
      
Langit malam bertaburkan bintang adalah satu-satunya teman curhatku sekarang. Di balkon kamar, aku memberanikan diri mengaktifkan kembali walkie-talkie pemberian Regi.
      
"Dia tak mau ikut dengan Erza walaupun aku melayangkan janji manis untuknya. Dia hanya ingin denganmu. Sebenarnya apa yang kau lakukan padanya sampai-sampai dia hanya mau denganmu?"
      
Masih tetap sama. Semuanya sunyi. Tak ada suara gemeresak walkie-talkie, tak ada suara Regi, dan tak ada balasan yang kudapatkan. Aku berbicara sendiri dengan benda mati ini seperti orang bodoh.
      
"Kau masih hidupkan? Aku dan Aira akan menunggumu di sini. Jadi datanglah. Bawa juga kedua manusia lainnya yang kutinggalkan di perjalanan ke mari bersamamu. Kami menanti kalian."
      
Ssreek!
      
Tut!
      
Walkie-talkie mati. Aku menyerah untuk malam ini. Mungkin akan kulanjutkan di hari berikutnya. Saat mentalku kembali siap menerima kenyataan.

***

Pagi ini suasana rumah lebih ramai karena kedatangan orang-orang baru. Para tentara-tentara itu dan para penyintas berbaur dengan baik.

Wajah para penyintas terlihat lebih bersemangat. Bagai menemukan sebuah tameng baja.
      
"Pagi Shaila,"
      
Langkah kakiku sejenak terhenti. Bibirku membentuk sebuah senyum kecil. Sudah lama sekali tak mendengar sapaan ceria Erza. Biasanya disetiap pagi wajah ceria Erza lah yang menyambut hariku.
      
"Pagi Erza," Balasku tak kalah ceria.
      
"Kau benar-benar membawa banyak persediaan makanan," Ujarku saat melihat meja makan sudah berisikan banyak makanan lezat.
      
"Aku juga bawa daging kaleng. Kau mau?"
      
Daging kaleng. "Tidak. Kapan-kapan saja. Aku sedang mau makan bersama mereka."

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang