FIVE

76 20 9
                                    

Happy Reading!!

Langkah Opsir Anan terhenti saat matanya menemukan seseorang yang dia cari berdiri beberapa meter di depannya. Tengah menatap air danau dengan tatapan kosong.

Dari jarak sejauh ini saja tatapan itu bisa menyayat hatinya, apalagi jika dia menatapnya secara langsung?
      
Kakinya kembali melangkah. Lalu berdiri tepat di samping Shaila yang tak juga mengubah posisinya. Baru kali ini Opsir Anan melihat gadis pemberani di sampingnya rapuh.
      
"Apa yang kau lihat? Kedipkan matamu. Kapan saja air mata bisa turun dari mata tegasmu."
      
"Akhir-akhir ini memang itu yang terjadi. Hobiku berubah. Aku lebih suka menangis. Entah apa yang aku tangisi."
      
Opsir Anan meneguk kasar ludahnya. "Aku senang kau kembali pada kami. Tanpa luka sedikitpun." Bibirnya tersenyum paksa. Matanya ikut menatap danau buatan di depan.
      
"Dan itu kutukan untukku. Disaat tiga orang lainnya terluka demi aku."
      
"Bukan salahmu Shaila." Sejenak Opsir Anan tertawa mencairkan suasana.

"Kau berhasil selamat dan menjaga Aira juga. Aku yakin mereka akan bangga padamu. Ayolah, aku seperti berdiri di samping orang yang baru ku kenal. Kau seperti bukan dirimu."
      
"Kenapa ketakutanku selalu berhubungan dengan laut? Apa aku punya salah dengannya? Kenangan menyakitkan, semuanya pasti berakhir di lautan yang kebanyakan orang menyukainya."
      
"Kenapa kau bicara begitu? Letnan Kolonel Stevi perempuan yang tangguh. Sama sepertimu, dia juga pintar bertahan hidup."
      
"Opsir Anan, tahukah kau? Kebanyakan orang yang pintar bertahan hidup mempunyai luka yang mendalam di ingatan mereka. Itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan."
      
Kaki Opsir Anan kaku melihat tatapan Shaila. Gadis ini terluka, luar dalam.
      
"Mereka tengah mencari tameng untuk bertahan hidup. Karena selama ini, mereka belum berhasil menemukannya."
      
Pada akhirnya, Opsir Anan tak lagi dapat meluncurkan kata-kata penenang dan semangat untuk gadis yang berdiri di depannya. Tatapan Shaila mengunci bibirnya. Membuat dadanya ikut terasa sesak.
      
"Mereka hanya manusia lemah yang tengah berusaha menyingkirkan ketakutan mereka."
      
"Tapi Shaila, tidakkah seharusnya kau merasa bahagia walaupun sedikit karena berhasil kembali pada teman-temanmu? Mereka sangat mengkhawatirkanmu. Terutama Kiara. Dia berubah menjadi gadis pemurung semenjak kau pergi."
      
"Adnan dan Malik dapat mengatasinya. Tak usah khawatir." Shaila kembali membuang pandang ke depan. Ke air yang mergelombang tenang tertiup angin sore.
      
"Mereka berdua juga terguncang. Tak banyak yang dilakukan Adnan dan Malik untuk menghibur Kiara. Keduanya sama-sama kacau, sama seperti Kiara. Kami semua berpikir kau tertimbun reruntuhan bangunan."
      
Opsir Anan sedikit berdecak gemas. Shaila yang murung benar-benar membuatnya tak suka. Dia lebih menyukai saat gadis itu bersikap ingin tahu dan terus membangkang.

"Tak bisa begini." Serunya sedikit mengagetkan Shaila.
      
"Ayo cari mereka. Kita harus mengakhiri kesedihanmu. Aku tak tahan dengan sikapmu yang sekarang. Aku tak suka."

Setelahnya kakinya memutar, meninggalkan Shaila yang menatapnya dengan senyum kecil.
      
Hanya Opsir Anan yang mengerti dirinya saat ini. Hanya pria itu yang berani mengambil tindakan berbahaya untuk membuatnya sedikit lebih tenang.
      
"Di mana mereka?" Tanya Opsir Anan sesampainya mereka di dalam mobil.
      
"Letnan Kolonel Stevi di tepi laut, Kolonel Braga dan Regi berada di rumah warga di dekat rumah sakit." Jawabnya dengan tangan yang masih sibuk memasang sabuk pengaman.
      
Opsir Anan melajukan mobilnya. Shaila membuang pandang ke luar jendela. Menatap jalanan dua arah tak berpenghuni ini. Menghafalnya tipis-tipis.

"Kenapa jalanan ini sepi? Tak ada yang melewatinya, apa dikeadaan biasa jalanan ini juga tak terjamah?"
      
"Ini jalanan lama. Letaknya juga tersembunyi. Sedikit orang yang berani melewati jalan ini."
      
"Bagaimana Kolonel Braga berani membeli rumah besar di tempat tersembunyi seperti ini? Bukankah menakutkan? Daerah ini jauh dari pasar dan kehidupan. Mereka tak takut jika sesuatu terjadi pada mereka?"
      
"Kenapa kau tak bertanya padanya sebelumnya? Aku kira kalian banyak bercerita."
      
Kepala Shaila menoleh, menatap sisi wajah Opsir Anan. "Karena apa? Karena aku putrinya?"
      
"Hmm, tidak banyak yang dibicarakan?" Ujarnya setelah sekilas balas menatap Shaila.
      
"Kami kebanyakan ribut daripada melepas rindu. Mungkin begitulah cara kami berkomunikasi."
      
"Love language kalian memang berbeda." Opsir Anan terkekeh singkat.
      
Shaila tersenyum kecil menimpali ucapan Opsir Anan. Beberapa menit kemudian keduanya sampai di tepi tebing yang pembatasnya sudah rusak tak berbentuk.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang