Mataku terbelalak. Apa katanya barusan? Kuharap telingaku yang rusak.
"Ada apa denganmu?! Kenapa aku harus pergi sendiri? Pak Braga menyuruhku untuk ikut denganmu!"
"Kau bisa sampai di persembunyian lewat peta ini. Cepatlah." Letnan Kolonel Stevi membuka seat belt nya. Lalu turun dari kursi kemudi ke arah kursiku.
"Bagaimana bisa? Kenapa? Kau mau meninggalkanku di tengah jalan pegunungan seperti ini? Aku tahu aku menyebalkan tapi ini cukup kejam Letnan Kolonel Stevi!"Letnan Kolonel Stevi menarikku paksa keluar dari mobil tanpa mempedulikan ocehanku.
"Aku tahu. Tapi tak ada jalan lain. Shaila, tetaplah hidup ya? Rekam semua ucapanku di mobil tadi. Mengerti?"
"Letnan Kolonel..."
"Bawahan Mayor Jenderal berhasil menemukan kita. Jalan ini hanya menuju pada satu jalur. Tak peduli secepat apa aku melaju mereka akan tetap menemukan kita."
"Bagaimana bisa?"
"Pergilah. Cepat."
"Tapi bagaimana bisa aku berjalan sendiri ke tempat yang bahkan aku tak tahu di mana?!"
Ohh sial!
Air mataku meluruh diwaktu yang tak tepat. Apa aku terlihat cengeng sekarang? Tidak, kurasa bukan hanya cengeng, tapi juga bodoh.Aku tahu seharusnya aku cepat berlari dari sini, tapi meninggalkannya dikeadaan runyam seperti ini terasa berat untukku.
Karena keadaan sialan ini sepertinya hatiku makin melemah dari hari kehari.
"Hei! Sadarkan dirimu! Aku tidak akan mati jadi cepat pergi dari sini!"
"Apa kau bilang? Kau berencana untuk melukai dirimu sendiri?!"
"Setidaknya cobalah untuk sembunyi Shaila. Jangan membuat perjuangan kami bertiga sia-sia karena rengekanmu!"
Kata-katanya, sama persis dengan Regi. Apa aku semenyebalkan itu?
Kepalaku mengedar menatap ke sekeliling. Lalu terkunci pada jalan setapak yang mengarah ke kaki gunung. Sejenak kutatap wajah Letnan Kolonel Stevi yang tak kalah paniknya denganku, sebelum melangkah setengah berlari ke jalan setapak itu.
Sekitar 3 meteran dari Letnan Kolonel Stevi, aku bersembunyi di balik batang pohon yang cukup untuk menyembunyikan tubuhku dan Aira.Mataku masih terus menatap gerak-gerik Letnan Kolonel Stevi. Tentara perempuan itu memasuki mobil, lalu melajukannya mundur.
Tunggu, mundur? Apa yang dia lakukan?
Setelahnya mobil kini berhenti sejenak. Mungkin hanya untuk mengatur gigi mobil. Lalu kembali melaju cepat agak menyerong.
Ya Tuhan apa yang dia lakukan?!
Mataku terbelalak dengan napas tercekat. Kurang dari semenit rasanya ada seonggok batu besar yang menghimpit tenggorokanku.Ohh tidak-tidak!
BRAAKK!!!
BYURRR!!!
Mobil kepunyaan TNI itu menerobos penghalang jalan. Terjun bebas dari tepi jalan menghantam lautan di bawahnya.Bersama Letnan Kolonel Stevi yang masih berada di dalamnya.
Bunyi peraduan mobil dengan air bagai bom waktu untukku. Rasanya waktuku terhenti sejenak.
Apa yang barusan aku lihat?
Barusan itu apa?
Inikah yang dimaksud dengan mimpi buruk?Rasanya sangat nyata.
Air mata luruh tanpa bisa dicegah. Aku masih mencoba mencerna keadaan dengan napas yang juga belum kembali normal. Kejadian yang aku lihat tepat di depan mataku beberapa detik lalu mampu membuatku termangu.
Tiga orang. Terhitung sudah tiga orang mengorbankan hidup mereka untukku hari ini. Regi, Kolonel Braga, dan Letnan Kolonel Stevi.Selanjutnya siapa? Siapa lagi yang akan mempertaruhkan nyawa di depan mataku?
Regi. Aku takut. Sungguh...
Tubuhku meluruh duduk di atas tanah dedaunan. Mendekap tubuh mungil Aira cukup erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)
Teen Fiction# Unexpected Meeting: Second Leaf adalah sequel dari cerita sebelumnya yang berjudul Unexpected Meeting: Farewell. Diharapkan baca book 1 nya terlebih dahulu sebelum membaca book 2 (cerita ini). # Selamat membacanya!!! --- Aku kira semua akan membai...