FOURTEEN

56 16 0
                                    


Cuaca panas sama sekali tak membuat kami bertiga yang masih duduk berhadapan ini terganggu.
      
"Meskipun aku tak keberatan menjagamu, namun aku juga setuju dengan ucapan Regi tadi. Lebih baik dia yang menjagamu dari pada aku. Setidaknya dia terlihat lebih becus dalam menjagamu ketimbang aku."
      
Suara Kolonel Braga memecahkan keheningan.
      
"Jadi mari lakukan seperti apa yang Regi mau. Kau dan Aira menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan aku menjadi penanggung jawab Letnan Kolenel Stevi."
      
"Ehh?" Gumam Letnan Kolonel Stevi yang sepertinya sama terkejutnya denganku.
      
"Tidak perlu, aku bisa menjaga diriku sendiri." Lanjut tentara perempuan itu.
      
"Kau mampu menjaga dirimu sendiri? Lupa jika tidak ada aku maka kau tidak akan bernapas sampai sekarang?"
      
Ku tatap bergantian dua orang ini. Masih bingung dengan keadaan diantara keduanya.
      
"Kalian berdua, sepertinya ada yang kulewatkan kan? Apa itu?"
      
Tatapan keduanya terputus. Kini sama-sama beralih menatapku.
      
"Hmm?"
      
"Hmm?" Aku balas bergumam. Menautkan alis menatap tentara perempuan di sampingku.
      
"Tidak terjadi apa-apa. Siapkan keperluan untuk besok. Kita harus cepat-cepat bergegas. Ohh iya, kita butuh dua mobil untuk mengangkut persediaan obat dan makanan."
      
"Kalau begitu aku semobil saja dengan---"
      
"Denganku."
      
Lagi, aku kembali dibuat bingung saat Kolonel Braga memotong ucapan Letnan Kolonel Stevi. Tatapanku bergulir pada tentara yang duduk di sampingku. Sepertinya ucapan Kolonel Braga mengejutkan bawahannya itu.

***

"Suster, kita akan pergi lagi?"
      
Aku tersenyum sejenak, lalu mengangguk singkat.

"Kau keberatan kita terus pindah tempat Aira?"
      
Kepala dengan rambut tercepol rapih itu menggeleng.
      
"Kita akan pergi hari ini untuk menyelamatkan beberapa Dokter."
      
"Berarti hari ini kau tidak lagi menjadi Suster ya?"
      
"Aku? Kita akan menjadi Tentara dulu untuk hari ini Aira."
      
Bibir tipis itu terangkat, membentuk senyum cerah yang menular padaku.

Tepat hari ini kami akan melakukan evakuasi dengan tim seadanya. Tim beranggotakan tiga orang dengan satu pemimpin yang sangat hebat. Kuharap.
      
Tok... Tok... Tok...
      
"Sudah selesai? Ayo bergegas."
      
Aira langsung berlari ke arah Letnan Kolonel Stevi. Melingkarkan tangan mungilnya di pinggang tentara perempuan itu.
      
Dua perempuan berbeda usia itu melenggang pergi dari kamarku. Meninggalkanku yang sibuk mengangkut bawaanku dan Aira seorang diri.

Sedangkan di belakangku Resha setia mengikuti. Hanya dia yang setia menemaniku.
      
Seperti intrupsi Kolonel Braga sebelumnya. Kami membawa dua mobil kepunyaan TNI. Dengan aku, Aira dan Regi yang mengikuti mobil yang dikendarai Kolonel Braga yang ditemani Letnan Kolonel Stevi.
      
Mobil bermuatan banyak ini dipenuhi persediaan makanan dan obat-obatan. Mengantisipasi keadaan darurat yang kapan saja dapat memperlambat jalan kami. 

Aira tersenyum di pangkuanku. Satu tangannya keluar, menikmati angin yang menabrak lembut tangan mungilnya.
      
"Hei bocah, kau tidak kedinginan?" Mata Regi sesekali terlihat melirik Aira lewat spion depan.
      
"Anginnya sejuk, Kapten."
      
"Suster, aku juga ingin memakai pakaian sepertimu. Apa tidak ada yang seukuranku?" Kepala itu mendongak menatapku.
      
"Ada, di swalayan. Tapi saat ini kita tidak bisa ke sana Aira. Mungkin kapan-kapan?"
      
"Suster, kenapa Resha tak di sini saja bersamaku?"
      
"Mobil kita sudah sempit. Dia bisa saja buang air di mana-mana. Itu bahaya,"
      
"Lalu bagaimana dengan Letnan Kolonel Stevi?"
      
"Dia? Dia sedang berlatih Aira. Tidak apa, hiraukan saja."
      
Regi terkekeh di sampingku. Menertawakan nasib Letnan Kolonel Stevi yang mungkin saja sedang atau akan menderita karena Resha yang hobi buang air di mana-mana.
      
"Ini akan menjadi perjalanan panjang. Tidurlah jika kau mengantuk, bilang jika ingin buang air, dan bilang juga jika kau lapar." Tangan besar Regi terayun mengusap puncak kepala Aira.
      
Benar. Ini akan menjadi perjalanan panjang kami berlima. Perjalanan panjang yang entah bagaimana akhirnya. Tapi kuharap akan berakhir dengan bahagia. Tanpa kami harus merasa kehilangan untuk yang kesekian kalinya.
      
Tap!
      
Lamunanku buyar merasakan sapuan hangat di punggung tanganku. Tangan besar Regi kini bertengger di punggung tanganku. Bukan lagi di puncak kepala Aira.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang