Chapter 4

101 92 113
                                    


Seorang pria berambut hitam legam khas orang Asia berjalan santai memasuki gedung pencakar langit di depannya. Ketukan sepatu pantofelnya terdengar seirama dengan kakinya yang terus berjalan mengabaikan tatapan beberapa staf di sana.

Seolah hafal dengan tata letak gedung tersebut, sang pria pun tak memerlukan resepsionis untuk menunjukkan letak ruangan yang akan ia tuju. Pria dengan kemeja formal berwarna biru yang melekat ditubuhnya itu berjalan tenang menuju lift yang tersedia di sana.

Lagi-lagi pria itu mengabaikan tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang berlalu-lalang diarea lift. Dengan tatapan acuhnya, pria tersebut menekan tombol pada litf dan menunggu benda persegi tersebut terbuka.

Ting

Suara lift terdengar, menandakan yang ada di dalamnya telah sampai di lantai yang mereka tuju, serta sebagai pertanda penantia sang pria yang ingin menumpang lift untuk membawanya ke lantai yang ia inginkan.

Saat lift terbuka, beberapa karyawan yang berada di dalamnya pun langsung berjalan keluar. Disela-sela perjalannya, mereka menyempatkan diri untuk menengok sekejap kearah seorang pria yang berdiri di depan lift saat ini. Pria itu terlihat asing di mata mereka.

Setelah semua orang yang sebelumnya berada di dalam lift keluar, pria berambut hitam serta berkemeja biru tersebut bergegas masuk kedalam lift. Beruntung tidak ada karyawan lain yang menumpang lift bersamanya saat ini. Sepertinya sang pria sangat malas jika harus berinteraksi dengan orang-orang di sini.

Ting

Setelah menunggu selama beberapa saat, akhirnya pria itu sampai di lantai yang ia tuju. Lift terbuka sesaat setelah terdengar bunyi yang cukup nyaring. Ia pun melangkahkan kakinya untuk keluar dari benda persegi tersebut.

Lantai lima belas adalah lantai yang ia tuju. Di lantai ini tidak seramai lantai dasar yang ia lewati tadi. Di sini suara pantofelnya lebih bergema daripada sebelumnya. Menimbulkan kesan klasik yang sedikit horror karena sedikitnya manusia yang berkeliaran di luasnya lantai lima belas ini.

"excuse me sir?" Sapa seorang pria ber jas coklat seperti meminta atensinya, "what are you doing here?" tanyanya setelah melihat sang lawan bicara berhenti dan menoleh sepenuhnya kearahnya.

"I'm going to meet Mr Emanuel." Jawabnya santai.

"Ah, anda tamu Mr. Emanuel rupanya." Balasnya ramah, "apakah perlu ku antar menuju rangannya, sir?" Tambahnya.

"Tidak perlu." Jawabnya singkat seraya melenggang pergi setelah menunduk kan kepalanya sejenak sebagai bentuk kesopanan sebelum ia pergi. Sungguh ia sangat malas berinteraksi dengan orang-orang di sini, jadi tidak perlu memberi salam formal bukan? Menundukkan kepala itu sudah termasuk kesopanan tingkat tinggi tahu.

Tok

Tok

Tok

Pria itu mengetuk pintu dengan sopan setelah sampai di depan ruang kerja Tuan Emanuel.

Klik

Suara kunci terbuka terdengar samar, namun itu yang membuat ia yakin telah mendapat izin untuk masuk.

Ceklek

Pria tersebut lantas membuka pintu dengan perlahan. Terpampanglah ruang kerja yang cukup luas dan sangat elegan di sana. Terlihat pula seorang pria paruh baya yang sedang duduk angkuh di meja kerjanya sembari memainkan remot kecil yang ia duga merupakan kunci pintu dari ruangan ini.

"Ah. Akhirnya kau berkunjung juga ke kantor ku." Sambut sang pemilik ruangan mengiringi langkah pria tersebut berjalan mendekat.

"Selamat siang Tuan Emanuel." Sapa pria tadi dengan sedikit membungkukkan tubuhnya sejenak, menandakan bahwa ia sangat menghormati pria peruh baya yang masih senantiasa duduk di kursi kebesarannya.

AuthorityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang