Tiada pernah bisa disangka-sangka sebelumnya, impianku selama ini telah berada di depan mata. Jepang, sebuah negara yang sedari dulu ingin aku kunjungi entah melalui apa dan bagaimana pun caranya. Tertarik dengan kultur Jepang dalam peranimasian dan perfilman serta budaya yang berbeda, membuatku terus berpikir jika suatu saat setidaknya sekali dalam seumur hidup menginjakkan kaki di negara sana.
Dan kini, semuanya telah tercapai. Kakiku berada di lantai Pelabuhan Tokyo setelah perjalanan panjang menggunakan pesiar barang dan bersembunyi di geladak dasar dalam sebuah ruangan sempit berisikan dua puluh orang. Sesak napas dalam ruang tersebut, berhimpit dengan orang lain serta berbenturan dengan beberapa barang yang juga diletakkan di tempat ini pun tak membuatku mengeluh. Rasa bahagia itu memuncak, hilang was-was meski pelayaran ini dilakukan secara diam-diam.
Tiada bisa kutahan debaran-debaran penuh gemuruh yang mencuat dari dalam dada. Wajah-wajah asing dari setiap orang yang lewat, gadis-gadis Jepang yang cantik nan imut, serta betapa canggih teknologi dan indahnya Pelabuhan Tokyo di malam ini terlihat dengan jelas. Mataku berbinar, sudah pasti itu. Aku kagum! Sangat!
"Kak Farel!" Suara itu mengalihkan atensiku.
Sesosok gadis dengan topi kupluk merah berbulu menatapku dengan dahi yang berkerut. Selanjutnya, gadis manis cantik itu bedecak lidah dan menggelengkan kepala keheranan. Tak luput juga pinggangku yang dicubitnya dengan kencang. Meski sesungguhnya, cubitan itu tak berefek apapun.
"Kakak pasti sedang melirik gadis-gadis bahenol di sini, kan?" tanyanya. Ada ketidaksukaan yang ia tunjukkan dari sorot matanya.
"Memangnya kenapa? Itu akan bagus jika suatu saat kau memiliki kakak ipar orang Jepang. Mereka itu sangat kawaii," ucapku dengan memainkan kedua alisku naik turun. [Kawaii : Cantik/Imut]
"Cih!" Apa-apaan respon itu. Harusnya dia berbangga jika benar aku memberikan saudari ipar bule, kan? Adikku ini benar-benar ... mengesalkan.
Aku menyudahi obrolan yang kurang penting ini. Dengan menghembuskan napas panjang dan sembari memeriksa pakaian yang kukenakan, memastikan segalanya tidak ada yang luput dan tertinggal.
Adikku dan juga teman seperjuangan sesama pekerja dari Indonesia termasuk aku dituntun oleh anggota penyalur yang memberangkatkan kami. Mereka membawa kami berjalan kaki hingga ke suatu tempat yang sepi. Lokasinya masih di sekitar Pelabuhan, tempat itu masih terlihat dari tempatku saat ini berdiri.
Seorang lelaki yang juga panitia dalam penyelundupan tenaga kerja asing ini pun mondar-mandir sambil menggunakan teleponnya. Entah apa yang dibicarakan oleh pria itu karena tidak terdengar jelas di telinga.
"Kakak jangan terus tersenyum seperti itu. Khawatirlah sedikit." Lagi-lagi, adikku membuyarkan kepala dari segala lamunan.
"Apa yang perlu aku khawatirkan, Fanya? Kita sudah sampai di negara ini dan sebentar lagi akan tiba di lokasi penampungan," balasku.
Fanya menggelengkan kepala dengan helaan napas kasar. "Kita adalah pekerja asing yang diberangkatkan secara ilegal. Seharusnya Kakak tidak setenang ini sebelum kita benar-benar tiba di tempat yang dijanjikan," ucapnya.
Kali ini giliranku yang menghela napas. "Bersikap was-was juga tak akan merubah apapun," balasku.
"Setidaknya berhati-hati untuk kejadian tak terduga." Fanya mengingatkan dan aku hanya mengangguk pelan.
Selanjutnya, sebuah bus datang. Bus berwarna putih dengan bagian kaca yang tertutup oleh tirai biru. Pemandu meminta kami semua untuk masuk. Tidak satupun di antara kami yang menolak tentu saja. Masuk secara berurutan ke dalam angkutan tersebut dan duduk pada kursi di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Rampage
ActionTerhasut oleh iming-iming gaji fantastis, Farel Bramantyo rela ikut penyalur ilegal yang memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri. Alih-alih mendapatkan pekerjaan, dirinya justru menjadi korban penyelundupan dalam skandal perdagangan manusia. Per...