Diana terlihat tidak mengerti dengan apa yang kuucapkan. Tetapi setidaknya, mendengarku yang mengungkit tentang rencana B membuat ia sedikit tenang. Apalagi ketika aku berjanji untuk menyelamatkannya dari situasi ini, ditambah dengan wajah tenang yang kubuat agar Diana tidak ikut panik.
Setidaknya, tidak ada obrolan apapun lagi yang terjadi di antara kami sampai mobil ini kurasakan tak lagi melaju. Berhentinya mobil box yang mengangkut kami pun menjadi tanda bahwa mereka telah sampai. Hanya berselang beberapa detik setelah berhentinya mobil ini, pintu belakang pun terbuka.
Mataku menangkap banyaknya pria berseragam hitam dan bersenjata lengkap mulai memerintah dengan kasar agar aku dan Diana keluar. Aku tidak banyak bicara, dari pada mendapatkan luka tambahan, lebih baik menurut tanpa adanya pertikaian.
Layaknya seorang budak, begitu turun bersama dengan Diana dari mobil, kami dikawal dengan ketat. Sisi samping, depan dan belakang dipenuhi oleh penjagaan. Tak luput juga rantai yang mengikat kami diperbanyak. Dua tangan kami dirantai dan begitu pula dengan bagian kami.
Selanjutnya, kami tiba di depan sebuah gudang kumuh, bangunan itu hampir mirip dengan tempat beda organ beberapa minggu lalu. Bedanya hanya terletak pada kondisi bangunan yang sudah tidak tapi seakan ditinggal dan tak dirawat cukup lama. Cat bagian depan bangunan yang telah lapuk, juga warnanya yang kusam, bertambah suasana ngeri dengan penerangan minim.
Sampai di depan pintu dari ruangan itu, pintu dibuka dari dalam. Di waktu yang sama, seorang pria yang menjaga dari belakang mendorongku hingga jatuh tersungkur. Di dalam gudang bekas itu sudah berdiri di dalam sana seorang pria berkumis tipis, terlibat berusia empat puluhan tahun tengah mengisap cerutu dan bertampang garang. Juga telah tersedia sebuah kursi di tengah-tengah gudang dan aku kemudian diseret untuk duduk di sana.
Tak hanya sekedar disuruh duduk, rupanya kaki dan tanganku diikat pada kursi tersebut. Pria tak dikenal itu pun mendekat, berdiri tepat di depanku dan memadamkan cerutunya dengan menekan benda itu pada bagian pahaku.
"Akh!" Aku memekik sakit lalu kemudian mengumpat, "Sialan!"
"Di saat terpojok seperti ini kau masih sempat-sempatnya mengumpat. Haha! Dasar, ketahuilah posisimu, Farel!" Aku tersentak mendengar penuturan itu. Pria ini tahu namaku.
Aku mendongak, menatap tajam ke arah pria yang sekarang memandangku dengan tampang merendahkan. Kalau diperhatikan dari dekat, pria ini tidak terlihat seperti wajah orang Jepang. Wajah tegasnya, posturnya, rahang dan bentuk matanya lebih mirip seperti wajah-wajah pria lokal Indonesia.
"Astaga, mungkinkah kau–"
"Baru sadar, huh?!"
Aku berdecak kesal. Pria ini adalah pimpinan dari penyalur tenaga kerja ilegal. Aku baru ingat sekarang, pria ini pernah menemuiku di sebuah gang saat aku sedang nongkrong bersama dengan teman-teman sesama pengangguran. Ia pula yang menawarkan pekerjaan di Jepang dan memberikan iming-iming gaji besar dalam waktu yang singkat.
"Biadab! Kau menjual kami semua, huh?!" seruku dengan meronta-ronta. Sayangnya, rantai ini cukup kuat hingga tak membuatku bisa terlepas. Jangankan terlepas, bergeser sedikit saja tidak mampu.
"Biadab? Kau berkata aku begitu? Bukankah kau sama biadabnya karena telah mengambil jalur ilegal yang beresiko dan bahkan tidak mampu menyelamatkan adikmu. Kau justru kabur seorang diri dan meminta perlindungan dari Yakuza Minamoto. Ah, menyedihkan sekali." Emosiku meluap-luap mendengar penjelasan dari mulutnya.
"Sialan kau, Bagas! Ini semua terjadi karena ulahmu! Di mana adikku?! Di mana kau menyeret dia, huh?!" Aku mempertanyakan tanpa basa-basi. Siapa pula yang mau berbasa-basi di situasi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Rampage
ActionTerhasut oleh iming-iming gaji fantastis, Farel Bramantyo rela ikut penyalur ilegal yang memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri. Alih-alih mendapatkan pekerjaan, dirinya justru menjadi korban penyelundupan dalam skandal perdagangan manusia. Per...