Dengan gerak cepat, hal berikutnya yang kulakukan adalah beranjak dari tempat dudukku. Kekhawatiran yang membuncah bersamaan dengan cepatnya debaran jantung pun tak membuatku bisa tenang. Suasana jadi semakin ramai dengan setiap pasang mata mengarah padaku. Mataku menatap nyalang pada sekitar, mencoba untuk mencari celah agar aku bisa kabur.
"Fareru-kun, duduk. Apa yang kau lakukan?" Sudah tidak lagi kupedulikan suara Yura dengan panggilan imutnya. Aku masih sayang nyawa.
Sebelum setiap orang sempat untuk berbicara atau bertanya, aku sudah berlari ke sisi samping ruangan. Mengabaikan setiap orang yang berteriak memanggil namaku. Di sisi ruangan, ada sebuah jendela tertutup oleh tirai berwarna krem. Aku membuka paksa jendela yang terkunci dengan menendang menggunakan kaki hingga kaca di sana pecah. Selanjutnya, aku kabur. Melompat dari jendela hingga terguling-guling jatuh di atas rerumputan halaman belakang rumah Yura.
Aku menoleh, menangkap orang-orang dalam ruangan sana melalui jendela. Tampak Yura dan Ayahnya berada di ambang pintu jendela. Sedangkan yang lain, hanya bisa diam sambil geleng-geleng kepala.
Apa ini? Mereka tidak mau menangkapku? Tidak satu pun di antara mereka yang terlihat seperti akan mengejar. Tetapi, tidak masalah. Justru bagus karena aku bisa kabur dengan mudah.
Di halaman belakang ini, ada sebuah tembok panjang yang mengelilingi pekarangan. Namun, bukan hal sulit untuk ditaklukkan. Tidak jauh beda dengan bagian depan, di sini juga ada taman kecil beserta dengan air mancur lengkap hiasan-hiasan patung di banyak sisi taman. Aku memanfaatkannya, berlari sekencang mungkin dari sini dan melompat lalu menjadikan patung tersebut pijakan agar bisa melompat ke patung lainnya hingga benar-benar bisa memanjat sampai ke atas tembok pagar. Setelah berhasil, aku melompat ke luar. Berlari sebisa mungkin untuk pergi dari area rumah Yura.
Rupanya, meski telah banyak menonton film-film Jepang dengan latar Tokyo, tak membuatku benar-benar bisa mengenal kota ini. Aku mendongak ke atas, memperhatikan sinar bulan yang kini telah tertutup oleh gumpalan awan. Malam yang gelap. Namun, aktivitas pejalan kaki di kota ini masihlah padat. Trotoar-trotoar jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang melintas.
Aku menghela napas, lelah dan lapar di waktu bersamaan. Rasanya, berjalan terus menerus tak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada, aku hanya tersesat. Tidak tahu arah akan ke mana bahkan di mana saat ini aku berada. Sampai mataku menangkap adanya zebra cross terbesar di kota ini, tempat penyeberangan jalan paling ramai di Jepang. Aku menyadari bahwa aku berada di Distrik Shibuya, tepatnya di Shibuya Crossing. Namun, untuk apa aku mengetahui lokasi ini jika aku tak tahu hendak ke mana?
Hembusan napas lelah pun berkali-kali kulakukan. Membiarkan kakiku bergerak tanpa arah, masuk melewati area perumahan dengan lorong-lorong sempit semacam gang. Lalu, saat aku benar-benar telah lelah dan tak mampu lagi berjalan, aku bersandar pada dinding, menunduk dalam diam dengan air mata yang kutahan.
"Bodohnya aku," gumamku.
Mataku menatap lurus menghadap pada kaki yang kuselonjorkan. Kemudian, aku meraih celanaku, melipatnya ke atas dan membiarkan betis kananku bebas terlihat. Bekas luka tembak yang kudapat dari tempat penampungan sudah tak mengeluarkan darah lagi. Akan tetapi, lukanya membengkak. Tampak memerah dan sakit kala disentuh. Tadi, saat menggunakan kaki untuk berjalan dengan terpaksa, rasa sakitnya tidak terlalu terasa. Namun, ketika diam seperti ini, nyeri dan ngilu itu membuncah hingga membuatku meringis seketika.
"Maafkan aku, Fanya," kataku dan terisak.
Sekelebat bayangan Fanya pun menghampiri pikiranku. Perkiraan-perkiraan buruk tentang apa yang akan menimpa adikku juga terlintas di kepala. Mereka adalah penjahat. Dengan membawa Fanya, sudah bisa dipastikan bahwa adikku tak akan diperlakukan dengan baik. Dan aku, adalah seorang Kakak yang bodoh dan lemah hingga tak bisa melindungi adik yang berada di Jepang ini pun karena ajakan dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Rampage
ActionTerhasut oleh iming-iming gaji fantastis, Farel Bramantyo rela ikut penyalur ilegal yang memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri. Alih-alih mendapatkan pekerjaan, dirinya justru menjadi korban penyelundupan dalam skandal perdagangan manusia. Per...