Part 1 (Airmata)

120 7 0
                                    

Aku lelah dengan semua ini, aku dan Mas Wisnu sudah menikah selama 7 tahun, dan aku mengira semua baik-baik saja, karena selama ini berjalan seperti biasa, aku tak menaruh curiga sedikitpun kepadanya, karena aku percaya, dia tak mungkin menghianatiku. Kurang apa aku?

Aku dan Mas Wisnu belum berbicara tentang ini, ketika Mas Wisnu hendak masuk ke kamar dan menanyakan mengapa wajahku suram, tiba-tiba ada tamu yang datang dan mengajak Mas Wisnu pergi. Sampai saat ini pun Mas Wisnu belum kembali.

Aku masih berusaha berpikir positif, bahwa itu tak mungkin, Mas Wisnu dan Resti tak mungkin memiliki hubungan. Mereka berdua adalah keluarga. Nenek Wisnu dan Kakek Resti saudara kandung dan mereka masih sangat dekat. Terlebih lagi, Resti dan keluarganya tinggal didekat rumah kami, yang jaraknya sangat dekat dari rumah kami. Lalu, hubungan apa yang harus ku benarkan dari hubungan yang Resti katakan?

Sesaat kemudian, Dipta dan Asya masuk ke kamar, menghampiriku yang masih berbaring.

Dipta menyentuh lenganku dan menatap wajahku. "Mama sakit? Sakit apa? Biar Dipta pijitin Mama ya," katanya sembari memijat lenganku dengan lembut. Dipta memang anak yang perhatian dan pengertian, dia tak suka melihatku menangis, ketika Dipta mendapatiku pagi ini menangis, Dipta hanya bilang 'Mama jelek kalau menangis.' Airmataku malah makin deras ketika mendengar Dipta mengatakan itu.

Asya mengambil bonekanya dan naik ke atas ranjang, Asya lalu duduk didekat kepalaku dan mengelus jidatku, lalu mendudukkan bonekanya di sampingku.

"Mama, biar bear yang nemenin mama di sini," kata Asya, begitu polosnya.

Dua anakku ini adalah penyemangat hidupku, aku yakin badai pasti berlalu, badai tak akan lama datang, semoga saja. Semenjak mendapatkan pesan dari Resti tentang hubungan yang ia maksud, aku tak pernah bangun dari pembaringanku, sudah hampir jam 4 sore, namun aku belum makan apa pun sejak pagi. Semua semangatku menjadi kosong, semua semangatku runtuh dan tujuan hidupku seolah-olah memudar.

"Nak, ajak Adik main ya, Dipta harus belajar jagain adik ya," kataku mengelus pipi Dipta dan Asya.

"Mama jangan sakit ya, kalau Mama sakit, Dipta sama Adik siapa yang temenin?" tanya Dipta membuat hatiku didalam sana berkecamuk, bagaimana anak-anakku bisa tumbuh dengan baik nantinya jika tahu bahwa ayah mereka memiliki wanita lain?

Tak terasa air mataku luruh lagi, aku memang merasa luluh lantak jika itu berkaitan dengan Dipta dan Asya.

"Nak, ayo ajak adik main di luar. Mama mau istirahat dulu ya." Aku tak mau anak-anak terus melihat aku menangis.

Anak-anak tidak ada yang dekat dengan papa mereka, Dipta dan Aya lebih dekat denganku, karena papa mereka sibuk dan selalu pulang larut malam, bahkan tiba di rumah bisa jam 4 pagi. Jadi, ketika aku terbaring di kasur dan tak keluar-keluar kamar, anak-anak pasti merasa kesepian.

Aku meraih ponselku, iseng-iseng ku buka akun fa'ebook dan membuat status di beranda.

'Sepandai-pandainya menyembunyikan kebusukan, pasti akan tercium juga.'

Aku yakin Resti tak mungkin mengada-ada. Resti bukan anak kecil yang akan mengirim chat iseng seperti itu. Pasti ada alasannya.

Resti adalah wanita yang cukup cantik, mengutamakan perawatan di seluruh tubuhnya, putih bening dan memiliki body yang bohai. Resti seorang janda dan memiliki anak laki-laki usianya 4 tahun. Resti tak bekerja namun bisa membeli apa pun yang dia mau. Bahkan semua tetangga penasaran pekerjaan apa yang sedang Resti kerjakan hingga bisa memberikan apa yang dia mau.

Aku tak pernah menceritai orang lain, yang aku lakukan adalah diam di rumah mengurus anak-anak dan mengurus suami. Aku tidak suka menghabiskan waktuku untuk meng-gibah orang lain.

Meskipun semua orang bercerita tentang Resti dan pekerjaannya, aku tak pernah nimbrung dan tak pernah bertanya, karena bagiku menceritai orang lain dan penasaran dengan apa pekerjaannya, bagiku adalah pekerjaan yang tak penting dan membuang waktu.

"Mama sakit." Aku mendengar suara Dipta.

Tak butuh waktu lama, pintu kamarku terbuka, aku melihat Ibu mertuaku datang dan mendekatiku, ku tahan airmataku karena tak ingin menunjukkan betapa hancur hatiku saat ini.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu ketika ku cium punggung tangannya.

"Saya nggak apa-apa, Bu." Ku sembunyikan rasa sedihku sekuat tenaga, agar tak sampai menunjukkannya pada Ibu.

Aku mengangkat sebelah alisku melihat mata Ibu yang sembab seperti baru saja menangis, aku tak tahu apa yang menimpa Ibu dan apa masalahnya.

Selama ini, aku sangat dekat dengan kedua mertuaku, ipar-iparku, juga keluarga suamiku yang mayoritas tinggal didekat kami dan menjadi tetangga yang rukun, mereka sangat baik padaku. Kami selalu bertukar sapa, jika kami tak bertemu, kami bercerita melalui grup Whatsaap.

Kedekatan kami semua membuatku nyaman tinggal di kampung Mas Wisnu yang hampir semua adalah keluarganya. Aku benar-benar senang dan bahagia tinggal dengan mereka dan bertetangga dengan keluarga Mas Wisnu, aku punya banyak tempat untuk pergi sekedar membawa anak-anak menghibur diri dan bermain di lapangan.

Ku dengar suara tangis Ibu, aku bangun dari pembaringan lalu memeluk Ibu mertuaku, karena Ibu menangis, aku malah ikut terpancing untuk ikut menangis.

"Ibu kenapa? Saya jadi nangis juga dengar Ibu menangis." Aku terisak. Harusnya sebagai orangtua Ibu bahagia, akankah Ibu bahagia jika tahu anak satu-satunya lelaki, berselingkuh dengan keluarga sendiri.

Ibu menarikku dan masuk ke pelukan beliau, wajah keriputnya sudah mulai jelas terlihat, namun aku merasa kasihan kepadanya. Dari segi ekonomi, keuangan dan kehidupan pun sebenarnya sudah lebih dari kata layak, tapi mengapa aku merasa kasihan pada Ibu?

"Maafkan Ibu, Nak," kata Ibu seraya mengelus punggungku. Aku yang masih menangis tak bisa berkata apa-apa. Ku tanggung semua luka ini sendirian. Haruskah aku mengadu pada keluarga ini? Pada keluargaku?

"Ibu kenapa nangis gini?" tanyaku.

"Maafkan Ibu, Nak," lirih Ibu mertuaku lagi.

"Ibu kenapa minta maaf? Apa yang salah?" tanyaku bingung.

Aku tak tahu mengapa surga suamiku ini menangis di pelukanku sembari meminta maaf. Salah apa yang ibu buat sehingga meminta maaf berkali-kali?

"Ibu sebenarnya sudah tahu kalau Wisnu selingkuh nak," kata Ibu membuat jantungku ...

Deg.

Ibu tahu semuanya? Tanpa memberitahuku? Apakah semua yang Resti katakan lewat chatnya adalah benar adanya? Airmata luruh begitu saja. Lagi dan lagi aku menangis. Tapi, aku tak bisa menyalahkan Ibu mertuaku. Ini bukan salah siapa pun, tapi yang salah adalah aku. Karena terlalu percaya dan terlena selama ini.

.

Happy Reading, ya.
Oh iya. Jangan lupa follow and Votmment ya kalau kalian suka cerita ini.

SELIMUT TETANGGA (ON-GO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang