34

1.8K 225 28
                                    

Hampir satu pekan aku tidak bertemu dengan sosok yang mondar-mandir di kepalaku. Dua hari kemarin adalah weekend, dan tiga hari ini dia tidak ada di kantor. Oh, aku ingat sekarang. Dia sedang ke Bandung untuk menghadiri workshop. Aku pura-pura tidak peduli saat dia memberitahukan soal jadwalnya, aku berhasil membohonginya, tapi gagal melakukan itu pada diriku sendiri.

Aku merindukannya.

Merindukan orang yang pernah membuat persaanku hancur berkeping-keping. Iya, aku memikirkannya berkali-kali. Siang dan malam tanpa jeda.

Kupijit pelipis sebelum kembali fokus untuk meng-update data project-ku. Sudah 30 persen kemajuannya, tidak ada hambatan dan problem apapun. Pekerjaanku mulus dan lancar, tapi perasaanku justru sebaliknya.

Aku melamun sesaat, teringat momen Inas dan Demas di pantri. Apakah aku cemburu? Kenapa harus cemburu dengan sahabat sendiri?

Kepalaku pusing, rasanya berat. Aku berjalan ke pantri untuk mencari obat sakit kepala, setelah menemukannya aku segera menelan pil itu dan kembali ke meja kerja. Tapi pikiranku berkutat ke masalah itu lagi...

Ya Tuhan, mengapa harus Inas yang Demas incar?

Ah, mungkinkah tipe perempuan yang Demas suka adalah yang sosoknya kalem, lembut, behijab, baik, dan rajin ibadah seperti Inas?

Rasanya aku tidak siap bila harus menerima undangan pernikahan mereka tahun depan.

Ada yang mengusap bahuku lembut, aku tersentak dan cepat-cepat menoleh. "Lo?" tanyaku kaget. Orang yang sedang aku pikirkan sudah ada di sini, secepat kilat.

Inas tersenyum lebar, dia menarik kursi kosong di belakangku dan duduk di sana. "Lo pucat deh. Sakit, Joy?"

"Nggak. Cuma pusing dikit." Aku menyender ke sandaran kursi.

"Sakit namanya. Tiduran aja di meeting room yang kosong, ada tuh." Inas mengedikkan dagu ke arah pintu keluar.

Aku menggeleng dengan kepala berat. Aku pusing bukan perlu istirahat, aku pusing karena memikirkan ketidaksiapanku menerima undangan pernikahan Inas dan lelaki yang masih kusuka. Sialan, mengapa sampai sejauh itu pemikiranku? Bukankah ini namanya sakit dibuat sendiri?

Inas melirik jam di sudut laptopku, istirahat masih lima belas menit lagi dan sepertinya dia sedang santai sehingga bisa datang ke sini. "Mas Demas lucu juga ya," ucapnya tidak terduga.

Seketika punggungku tegak, mataku tak berkedip mengawasi ekspresi di wajah Inas. Apakah dia tersipu?

"Padahal banyak yang ngomong kalau dia itu cuek banget. Dia ditegur sama teman programmer gue, si Anya itu, katanya nggak senyum sama sekali, ngangguk doang pas ditanya 'dari kantin ya, Mas?' Gitu."

"Oh." Aku pikir Demas sudah murah senyum ke semua penghuni gedung ini. "Terus lo ikutan suka ke dia?" tanyaku tanpa bisa direm, aku benar-benar kelepasan.

"Ke Mas Slamet alias Demas itu?" Inas terlihat santai menanggapi ocehanku barusan, syukurlah.

"Ho-oh." Jawab, Nas. Jujur jangan bohong! Tuntutku dalam hati.

Terlihat sekali Inas berpikir dulu sebelum menjelaskan tentang Demas. "Ehm ... dia itu keren sih, pinter, gue ajak bahas program nyambung banget, enak gitu orangnya kalau bahas kerjaan."

Aku sudah tak sabar mendengar jawabannya. "Iya, terus lo suka enggak?"

"Bentar, jangan buru-buru, mikir dulu."

"Kenapa harus mikir?"

"Karena ini hal yang ... nggak gampang buat disimpulin."

Aku menarik napas dalam-dalam, aku harus menyiapkan hati seandainya Inas menyukai Demas, dan Demas juga membalas perasaannya.

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang