31

1.8K 230 37
                                    

Setelah selesai mengerjakan tugas rutin, yaitu mengawasi kelancaran project, membuat report harian, update progress pada PM-ku, kini aku sibuk dengan berkas lainnya. Sudah lima belas menit aku berdiri di depan mesin fotokopi, mengkopi file-file penting yang diberikan oleh PM-ku.

Lima menit lalu Rio baru pergi setelah menemaniku mengurus file yang jadi bagianku. Setelah lima hari berlalu Rio masih belum menyerah, masih ada di mana-mana, di setiap sudut kantor selalu ada muka dia. Bosen nggak sih? Banget. Rasanya pengin libur satu bulan biar mata ini lebih sehat lagi, wajah Rio membuat mataku semakin buram melihat masa depan.

Kenapa sih harus dia yang selalu beredar di sampingku? Kenapa bukan ... ah, sudahlah. Percuma manusia bernama jadul itu diomongin, toh dia nggak bisa jadi gebetanku. Dan dia sudah terang-terangan menolakku yang artinya dia nggak naksir sama sekali.

Kuletakkan semua file yang sudah aku copy di meja, file asli masih kusimpan untuk pengecekan ulang. Aku menuju pantri untuk menyeduh kopi, dijam empat seperti ini mata terasa berat sekali.

Pintu pantri terbuka, aku syok ketika melihat Demas ada di sini. Kulangkahkan kaki dengan santai, pura-pura tidak menyadari kehadirannya di dekat coffee maker, aku mengambil gelas di kabinet atas, berjinjit karena hakku sudah kulepas dan menggantinya dengan flat shoes tipis.

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari balik punggungku. "Buat lo."

Aku menoleh kaget, tidak jadi menggapai gelas merah di atas. "Apa?"

"Kopinya buat lo." Demas menyurungkan mug putih di depanku.

Apa-apaan ini, sekarang dia berani membuatkan kopi untukku? Aku menatap mug berisi kopi dengan aroma kuat, hening sejenak. "Pekat ya? Gue nggak suka." Kataku setelah menebak-nebak. Sebagian lelaki di sini suka kopi tanpa campuran susu.

"Sudah pakai susu tadi, coba aja." Jelasnya, seolah memahami seleraku.

"Ha?" apa aku nggak salah dengar? Apa kupingku lupa dikorek seminggu? Ya kali aku sejorok itu!

Setelah meletakkan mug di meja dia berlalu begitu saja, meninggalkan aku dalam kebisuan, aku cukup terheran-heran dengan sikapnya kali ini. Aku mencicip kopi buatannya, rasanya ... enak. Bibirku langsung menyunggingkan seulas senyum. "Pas."

Kubawa gelas itu ke mejaku, kopi buatan Demas menemani tugasku sore ini. Saat akan menyesapnya lagi aku teringat satu janjiku, bukankah seharusnya aku menghindari semua hal yang menimbukan benih-benih cinta kembali hadir?

Aku meletakkan mug ke meja, membiarkan kopi itu dingin dan tidak akan kusentuh lagi. Seperti sikapnya padaku, dingin. Kurasa apapun yang Demas lakukan padaku, aku harus menyambutnya dengan sikap dingin juga demi menyelamatkan hatiku sendiri. Aku tak mau jatuh lagi, tak mau sakit lagi. Cukup sekali saja aku terluka olehnya. Sekali saja.

---

Sebelum akhir bulan rekening kami sudah diisi oleh perusahaan, nomimalnya bertambah. Tentu saja semua orang senang. Aku dan Inas pun cengar-cengir tidak keruan, ada tambahan insentif yang bisa kami gunakan untuk membeli perawatan tubuh dan wajah.

"Lo enak mikirnya langsung ke investasi muka. Gue ada jajan adik yang harus ditransfer!" ujar Inas setelah menutup mobile banking-nya.

"Lo bagi dua, sisain buat diri lo sendiri, Nas. Itu duit lo ini." Kataku santai. Mungkin aku tak tahu beban Inas, jadi terlalu menganggap ini mudah. "Sori, maksud gue nggak gitu." Ucapku buru-buru.

Inas tersenyum. "Nggak apa-apa, gue harusnya nggak ngeluh depan lo. Lo nggak punya adik dan nggak tahu rasanya ngikhlasin uang insentif buat jajanin adik."

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang