38

1.8K 244 17
                                    

"Mama apa-apaan sih tadi sama Demas, bikin malu tahu!" omelku ketika Mama sudah memasang seatbelt-nya.

"Siapa yang bikin malu?" Mama menatapku tidak terima.

"Mama dong, siapa lagi?" balasku seraya mendesah panjang.

"Kok kamu nggak cerita kalau ternyata dia gagah, tinggi, dan badannya bagus banget gitu. Rajin fitness ya dia?" tanya Mama, mengabaikan ocehanku barusan.

Kunyalakan mesin mobil, tanganku meremas kemudi. "Mama yang dulu nggak percaya pas aku lagi cerita soal Demas!"

"Kamu mau durhaka ya? Kok nadanya tinggi gitu?" meskipun ucapan Mama nyakitin hati, tapi wajah Mama tidak terlihat marah, malahan ada senyum jail di bibirnya. "Pantes kamu naksir dia, orangnya gagah dan manis kayak gula aren!"

"Hih," cibirku tak suka. "Aku bilangin Papa nih kalau Mama mulai genit sama bujangan, mana umurnya beda jauh lagi."

Mama malah tertawa, menyuruhku segera menjalankan mobil dan pulang ke rumah sebelum Papa duluan yang pulang. Bisa saja kami berdua pergi keluyuran sampai sore, tapi Mama kasihan dengan Papa yang kemungkinan akan sendiri di rumah setelah pulang dari tempat temannya.

Sepanjang jalan menuju rumah aku tetap mengoceh tentang sikap tak wajar Mama pada Demas. "Jangan-jangan Mama naksir lagi sama berondong?"

"Hust! Sembarangan kamu." Gubris Mama sambil menepuk pahaku yang dibalut celana jeans. "Mama tuh baru tahu dia tadi, cakep kok, Joy. Kamu masih naksir dia?"

"Enggak!" ucapku lantang.

"Kenapa? Dia ada pacar ya di kantor?"

"Mungkin," sahutku seraya mengangkat bahu.

"Tapi ... kalau punya pacar ngapain tadi dia lihatin kamu segitunya ya?" papar Mama tiba-tiba. "Dia kayaknya suka kamu deh, Joy. Mama perhatiin dia sering noleh ke kamu meski ngobrolnya sama Mama. Iya, nggak?"

Pipiku terasa panas, apakah warnanya sudah berubah merah seperti kepiting rebus? Semoga Mama tidak sadar kalau saat ini aku sedang berbunga-bunga.

"Zoya?" ucap Mama ketika tak mendengar jawabanku.

Aku menatap wajah Mama sekilas. "Aku lagi nyetir, Ma."

"Bener ya dia suka kamu? Kalian deket nggak sih di kantor?"

"Enggak. Aku kan sibuk, aku juga nggak mikirin dia lagi." Bohong! Sepenuhnya bohong.

Mama mengibaskan tangannya. "Terserah kamu deh, kamu yang jalanin. Tapi dulu kamu sempat naksir dia dan cerita soal dia sampai bikin kepala Mama sakit tahu nggak. Giliran dia begini ke kamu ... malah ditinggalin. Kamu lihat dong senyum dia, manis banget, Joy!" cerita Mama persis seperti anak remaja belasan tahun yang lagi mergokin temannya kasmaran. "Rasanya kalau ada beban di pundak, bisa tiba-tiba luruh kalau lihat senyumnya dia yang manis itu. Mama suka deh!"

"Ih, Mama berisik banget sih. Buat Mama aja Demasnya." Ceplosku tanpa dipikir, membuat Mama mendelik tajam. "Ehm, maksud Mama soal dia yang 'begini' itu apa?" tanyaku sok lugu.

Mama mencubit pipiku karena gemas, aku mengusap pipi kiriku bekas cubitan Mama.

"Dia suka kamu!" terang Mama penuh penekanan.

Oh ya? Dadaku berdesir lembut. Jadi, apa perasaannya benar-benar nyata dan tidak bohong sama sekali? Apakah yang waktu itu dia sampaikan adalah sungguhan?

"Ma," ucapku pelan.

"Ya?"

"Menurut Mama ... Demas anaknya gimana?" tanyaku ingin tahu.

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang