43

1.6K 231 17
                                    

Sudah dua pekan aku menjadi kekasih Demas, lelaki yang pelan-pelan mulai membuka diri dan tidak sedingin dulu. Kutatap wajahku di cermin besar, dandananku natural dan sempurna. Demas pasti suka deh.

"Mbak cantik banget pakai lipstick ini, biasanya orang yang pakai lipstick pink gini jadi agak pucat." Puji mbak-mbak yang membantuku mendandani wajahku.

"Makasih. Mungkin lisptick-nya tahu kalau saya mau jalan sama orang yang nggak suka lihat ceweknya menor. Hehe." Sahutku bercanda.

"Mas-mas yang suka sama dandanan natural gini biasnaya tipe setia lho, Mbak. Jangan dilepas, susah dapatnya."

Aku merasa tersanjung mendengarnya. Demas setia? Semoga saja benar. Untuk bersama Demas juga butuh perjuangan yang penuh air mata, bikin malu, nyaris kehilangan harga diri dan banyak lagi.

Aku segera meninggalkan kursi pelanggan dan menuju kasir, membayar tagihanku minggu ini. Tadinya aku mau ke klinik kecantikan ini bersama Mama, berhubung ada janji dengan Demas, aku memilih pergi sendiri dan Mama akan pergi bersama Pak Maja.

Saat kakiku menginjak teras klinik ponselku berbunyi. Ada pesan masuk dari calon bapak buat anak-anakku, Demas.



Demas

Di mana?



Aku sedang menuliskan balasannya, tapi panggilan masuk menginterupsi. Ternyata Demas.

"Halo, Beb." Sapaku dengan wajah ceria.

"Assalamualaikum, di mana?" sambarnya tak sabar.

Kubalas salamnya lalu menjawab. "Di depan klinik. Kenapa? Mau jemput ya? Baik banget." Kataku dengan senyuman supermanis yang tidak bisa dilihat olehnya.

"Ketemu di resto aja ya. Aku masih urus sesuatu." Sahutnya tak jujur, padahal aku sudah tahu dari Mas Damar kalau dia dan Demas akan meeting dengan customer untuk membahas project yang hampir selesai.

"Aku nggak bisa jemput, Dek. Kamu tahu kan alamat restonya?"

Aku memberengut. "Weekend lho, ngantor terus. Kayak lagi kejar target buat hajatan!" sindirku ketus. "Oke, aku sampai setengah jam lagi. Mau cari taksi."

"Oke, bye." Ucapnya mengakhiri.

Dengan berat hati aku menunggu taksi di depan klinik kecantikan yang mulai ramai di waktu siang.

Aku tidak ingin Demas melihat wanita lain selain aku. Titik.



---



Taksiku berhenti di depan resto yang Demas maksud, masih di kawasan Jakarta Selatan. Aku turun setelah membayar ongkos dengan uang tunai, setelah pandemi usai aku kembali menyimpan banyak cash di dompetku.

"Dek," sapa Demas dari balik punggungku. Dia juga baru memarkir mobilnya di lahan yang lumayan lapang. Dia terlihat mengawasiku dari ujung kaki sampai kepala, pasti aku terlihat cantik banget, kan? Usahaku kali ini pasti berhasil. Thanks buat mbak-mbak di klinik tadi, lipstick-ku juga bagus banget, natural!

"Yuk," ajakku seraya menyelipkan tangan di lengannya. Dia masih mematung dengan kening penuh kerutan. "Tumben banget Mas Damar meeting ngajakin kamu?" aku menariknya ke teras resto.

Demas tidak mau bergerak satu senti pun, dia balik menarik lenganku. "Kamu nggak punya baju yang agak nutup dikit ya? Semua yang kurang bahan ngapain sih kamu beli dan dipakai kayak gini?" ucapnya cepat, mengkritik semua hal yang ada pada diriku.

Tiba-tiba aku merasa salah lagi, gagal membuatnya terpesona. Aku malah membuatnya ngomel tidak jelas.

Bajuku warna putih polos dengan tali kecil di bahu, kupasangkan dengan celana jeans dan heels tujuh senti. Apa mungkin dia nggak suka bagian dadaku agak terbuka? Apa ini salah?

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang