Peti Hitam

42 25 19
                                    

Tubuh perempuan berusia sekitar 20 tahun itu meringkuk kesakitan. Sekujur tubuhnya pegal tidak memiliki tenaga. Sesuatu yang dapat ia lakukan sekarang hanyalah bernapas.

Cukup sulit untuk memindai dimana ia berada sekarang. Gelap. Lebih buruknya, ia tidak dapat merasakan jari-jari kakinya. Entah mungkin karena kedinginan atau memang jari-jari itu sudah tidak ada.

Setelah beberapa menit menukarkan oksigen di paru-paru, gadis dengan tubuh yang cukup tinggi itu mulai berusaha bangkit. Keadaan yang gelap membuatnya tidak tahu ada penghalang yang berada tepat di atas wajahnya.

Pikirannya menerka dimana ia berada. Tempat yang cukup sempit bahkan untuk anak usia 10 tahun.

Mencoba untuk tidak panik, ia mulai mendorongkan tangan ke atas. Tempat ini terkunci sangat kuat untuk tubuhnya yang masih lemah. Tidak ingin menyerah, ia kembali mendorong sesuatu seperti papan kayu di hadapannya. Berharap sesuatu akan terjadi.

Tepat setelah beberapa kali percobaan yang gagal, beberapa suara terdengar dari luar.

Suara dua manusia yang mungkin sedang memakai sepatu boots sehingga terdengar juga langkah kaki mereka yang berat.

"Aku akan memindahkan yang ada di peti."

"Mereka terlalu banyak, bukankah kau pikir mereka tidak memenuhi syarat?"

"Itu bukan masalahmu. Kita hanya menjalankan tugas."

Telinga gadis itu berusaha menangkap suara obrolan yang samar-samar. Seketika peti yang menahannya dibuka, menampilkan satu lelaki jangkung berambut oranye seperti kunyit dan seorang wanita berambut pirang sebahu.

"Astaga. Yang satu ini sudah bangun." Ucap wanita pirang saat melihat gadis di dalam peti yang menatap mereka sendu.

"Hei, kau bisa mendengar kami?" Lelaki disampingnya mencoba berkomunikasi, tidak lupa melambaikan tangan.

Sayangnya perempuan itu segera kembali dalam tidurnya.

Sakit kepala kembali menyengat gadis itu. Saat ini cahaya sudah mulai menyentuh kulitnya. Ruangan kini terasa lumayan luas tetapi begitu berisik dengan berbagai suara yang bercampur-aduk.

Ia merasakan kain hangat yang menyelimuti. Tubuhnya mencoba bangkit untuk duduk dan melihat keadaan sekitar.

Ada banyak orang yang mungkin seumuran dengannya sedang tergeletak lemas dan pucat.

Tidak ingin berlama-lama ditempat asing, gadis itu berdiri dengan hati-hati. Beruntung, semua organ tubuhnya lengkap tanpa kurang satupun. Ia menuju pintu dan hanya di batasi tirai lusuh, tentu saja ia tidak langsung keluar. Perlahan ia mengintip untuk berjaga-jaga jika tempat ini dipenuhi preman.

Matanya membulat. Tempat ini benar-benar seperti markas preman yang membawa senjata kemana-mana. Mereka berteriak, bergulat, dan saling melontarkan kata-kata kasar.

"Itu pemandangan yang normal." Kalimat lembut itu bertiup ditelinganya. Kaget bukan main, seperti sedang ketahuan mencuri.

Gadis itu segera menjaga jarak dari orang yang berbicara tadi. Pemuda dihadapannya hanya menatap datar. Seperti sudah terbiasa mendapat respon seperti itu.

"Karena kau sudah bangun, akanku ambilkan makanan." Punggung pemuda itu mulai menjauh.

Tanpa basa-basi, gadis itu segera mengikuti pemuda yang baru saja dilihatnya. Dia pikir mungkin pemuda itu bisa memberikan sedikit informasi terkait tempat bagai penjara itu, "Tunggu! Aku ikut denganmu."

Gadis bertubuh kurus itu mengekor dari belakang. Keluar dari pembatas kain lusuh, kekacauan mulai terasa mencekam. Matanya memandang ke kanan dan ke kiri, mencetak ingatan yang tidak akan ia lupakan.

DEKAPANCATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang