"Apa kau yakin? Ini bukan waktunya bermain-main!"
"Aku serius!" bentak Ansel, "Titik itu menghilang dari peta. Kini hanya berupa kertas lusuh saja."
Para picked menghembuskan napas berat. Mereka sudah terlihat sangat lelah dan kehausan. Bahkan Trisha sudah gemetaran dengan kondisinya saat ini.
"Tidak ada cara lain. Kita jalan saja ke arah cahaya paling terang, mengingat tidak ada matahari disini," saran Reggy. Kali ini lelaki dewasa itu tampak berguna.
Sulit bagi para picked berjalan tak tentu arah. Sesuai petunjuk yang ada, mereka harus menyelamatkan sandera di arah matahari terbenam. Trisha mulai merasakan kejanggalan dan keanehan dari tempat mereka berada. Ia merasa ada sesuatu yang salah tetapi tidak cukup yakin untuk mengatakannya.
Para picked mulai putus asa. Tanpa adanya petunjuk titik merah pada peta, mereka seperti berputar-putar saja. Padang pasir ini mulai terlihat memuakkan dan menyerap energi mereka yang tersisa. Helen berpikir, jika mereka begini terus maka dehidrasi akan lebih cepat membunuh.
Trisha tiba-tiba merasakan gelombang magnetik aneh yang merasuk di kepalanya. Ia mengerjapkan mata, mencoba bertahan agar tidak jatuh ke tumpukan jutaan pasir. Gelombang itu lebih terasa seperti tusukan perih sehingga ia sulit untuk melihat.
Ansel segera menghampirinya dan memberikan pundak bagi Trisha. Gadis cantik dengan bulu mata lentik itu terasa sangat ringan sehingga Ansel memapahnya dalam pelukan.
Ia mencoba mendekatkan telinganya pada bibir Trisha yang berusaha untuk bersuara.
"Sudahlah, ia hanya berceloteh tidak jelas karena kelelahan," tanggap Reggy yang malas melihat gadis itu dipapah oleh Ansel.
"Tidak. Aku yakin dia coba mengatakan sesuatu yang penting."
Helen yang peka kemudian mendekat dan coba mendengarkan bisikan Trisha.
"Turun... Bukit... Pohon... Lima orang..."
"Turun, bukit, pohon, lima orang. Hanya itu yang dia ulang-ulang," Helen menyampaikan apa yang ia dengar.
"Kau yakin dia berkata seperti itu? Apakah gadis itu sudah gila atau bagaimana? Jelas-jelas kita berada di padang pasir yang—"
"Hei! Lihat disana! Ada pohon!"
Ceramah Reggy yang panjang lebar terhenti karena tiba-tiba Ethan berteriak dari kejauhan. Sejak tadi, Ethan mencoba mencari jalan lebih dulu karena berdiri terdiam hanya membuatnya lebih putus asa.
Teriakan Ethan membuat semua orang mendongak. Segera mereka menyusul dan alangkah terkejutnya bahwa semua itu benar. Mereka sedang berada di puncak bukit dan jalan selanjutnya adalah dataran rendah menurun. Di ujung sana terlihat pohon rindang tanpa sedikitpun rumput disekitarnya.
Ukurannya besar, rindang, terlihat sangat teduh. Ethan yang mulai merasakan kerongkongannya kering kerontang segera berlari menuruni bukit. Kaki-kakinya menjelajahi pasir di turunan bukit.
Tetapi ada yang aneh, kakinya tidak hanya menyentuh pasir itu. Terlihat tubuh Ethan semakin memendek dan tenggelam.
"Pasir hisap! Ethan, keluar dari sana!" Helen berteriak histeris.
Menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi padanya, Ethan memberontak dan mencoba menarik kakinya keluar dari cengkraman pasir-pasir tersebut. Hanya saja gerakannya itu malah membuat kakinya semakin terjebak lebih dalam.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?!" Helen berteriak panik. Peluh bercucuran di pelipisnya.
Reggy menyanggah,"Aku akan kesana untuk mencoba menariknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEKAPANCA
Science FictionCerita yang menyajikan kehidupan distopia penuh krisis. • • Bagaimana Trisha tidak menyesali hidup nya saat dia terlempar ke dalam bangunan penuh manusia terluka yang menatapnya geram. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah melakukan misi kej...