Permulaan

25 21 9
                                    

Trisha tidak ingin menjadi yang terbunuh ditempat bau dan menyedihkan ini. Waktu berlatihnya hanya dua minggu, kurang lebih.

Jika dia tidak bisa melatih apa pun dari dirinya, ia akan kalah dari para laki-laki bertubuh besar yang sering dilihatnya.

Setiap subuh, gadis 20 tahun itu bangun lebih awal. Mengambil jaketnya dan membawa sepatu sneaker di tangan kirinya. Tujuannya adalah tempat latihan tinju.

Memang misi yang harus dijalani oleh para trainers saat keluar dari Debris adalah misi yang harus menggunakan senjata. Tapi siapa tahu? Mungkin suatu saat ia harus menjalani pertarungan tangan kosong.

Trisha mengikat rambutnya seperti kuncir kuda. Tubuhnya sudah siap dengan ancang-ancang memukul. Tangan Trisha melesat menuju samsak, tetapi itu hanya seperti sentilan yang tidak berarti.

Trisha terus memukul dengan cara yang ia lihat dan pelajari dari orang-orang di Debris. Hasilnya tentu sangat rendah dari perkiraan karena ia tidak tahu teknik yang bagus untuk menang dalam bela diri apa pun.

Suara pukulan lemah itu ternyata membangunkan seseorang. Tentu itu sangat mengganggu, sehingga orang tersebut beranjak dari kasur dan pergi menuju asal suara pukulan tidak jelas itu.

Ansel memperhatikan dari jauh. Gadis yang akhir-akhir ini menari-nari dipikirannya sedang berlatih tinju. Sejujurnya ia tidak ingin mengganggu, tapi dengan gerakan tinju yang tidak tentu, gadis itu akan segera mencederai tangannya sendiri.

Mata Trisha menangkap bayangan Ansel yang mendekatinya. Sejenak hati mencoba mengabaikan hal itu, ia harus fokus agar ingin mencapai kemajuan.

"Kau tidak akan bisa menang dengan pukulan seperti itu." Ansel membuka suara. Tangannya disilangkan di depan dada dengan tubuh tegap memperhatikan.

"Oh ya, terima kasih infonya." Kalimat nasehat Ansel itu sedikit menyinggung Trisha sehingga ia hanya menjawab seadanya.

Sorot mata Ansel meneliti tiap inci wajah gadis di depannya. Tetesan keringat yang membuat beberapa rambut menempel di wajah Trisha membuatnya terlihat... Cantik.

Ansel bergerak mendekat dan meletakkan telapak tangannya di pinggang Trisha, "Pusatkan kekuatanmu disini." Ujarnya.

Trisha yang menerima perlakuan tiba-tiba itu segera memberhentikan aktivitas fisiknya dan balik menatap Ansel. Dua matanya memandang laki-laki yang memakai kaos hitam lengan pendek itu.

"Kuatkan kuda-kuda mu, jika kau tidak bisa menjaga keseimbangan maka mudah bagi lawan untuk memukul jatuh tubuhmu." Ujung mata Ansel melihat jari jemari Trisha yang memar dan sedikit mengeluarkan darah, "Seharusnya kau membalut tangan dengan kain agar tidak lecet seperti ini."

"Kau ini cerewet juga ya." Balas Trisha cepat.

Laki-laki disebelahnya hanya mengangkat bahu dan pergi menjauh.

"Sudah kuduga, dia hanya memberikan ceramah dan membiarkan ku berlatih sendiri lagi disini."

Terkaan Trisha salah. Ansel datang kembali dengan kain putih sepanjang lima meter.

Segera diambilnya perlahan tangan Trisha dan dibersihkan dengan kain basah. Lalu ia membalut kain putih panjang tadi di sekeliling tangan Trisha. Ansel melakukan hal itu dengan sangat telaten.

"Kau bisa mulai berlatih lagi setelah ini. Lihat cara ku memukul lalu kau ikuti." Ucap Ansel yang tanpa sadar seperti memberi perintah.

Semua orang di Debris harus bekerja, termasuk Trisha. Ia memilih untuk bekerja sebagai koki dan menyiapkan bahan makanan. Sesekali ia membantu membuat alat memasak.

Menu makanan disini tidak terlalu menarik, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan perut yang keroncongan tiap harinya.

Helen—kepala koki di Debris—memperhatikan Trisha yang terus-menerus meringis dan meniup jemari tangannya.

"Ada apa? Kau terlihat tidak fokus."

"Bukan apa-apa. Hanya sedikit cedera karena berlatih." Jawab Trisha seperti tidak ingin membuat siapapun khawatir.

"Latihan tanpa mentor itu sulit. Dan aku yakin kau pasti mengejar pemilihan Trainer bukan?"

"Setidaknya aku mencoba. Aku tidak mau menghabiskan masa tua ditempat ini."

Helen hanya tersenyum miring dan membalik telur ayam kalkun yang diberi sedikit bumbu.

Trisha baru menyadari bahwa sekujur tubuh Helen dipenuhi oleh tato beragam motif. Yang paling membuat nya kagum adalah tato naga di lengan kirinya. Untuk ukuran wanita dewasa, tato naga itu keren sekali.

Seakan tau bahwa sedang diperhatikan, Helen menaikkan lengan bajunya, "Tato ini dibuat oleh seseorang yang tidak ada lagi disini."

"Siapa? Apa dia telah menjalankan misi?"

"Dia kekasihku, Naff. Awalnya dia petarung terbaik di Debris, semua kemampuan bertarung ku adalah hasil dari latihan bersamanya. Aku tidak mendapatkan kabar apapun setelah ia terpilih dan keluar dari tempat sial ini."

Tidak tau ingin merespon apa, Trisha hanya terdiam mengangguk. Helen terlihat seperti wanita 30 tahun dengan tubuh yang masih sangat berstamina.

"Oh ya, namamu Trish bukan? Aku bisa mengajari mu jika kau mau."

Mendengar penawaran tiba-tiba itu, wajah Trisha segera berbinar dan tangan menjabat kuat kedua tangan Helen.

"Terimakasih! Jadi, kapan kita mulai?"

Trisha jelas tidak ingin melepaskan kesempatan yang ditawarkan didepan wajahnya. Sepertinya Tuhan sedang berbaik hati kepadanya.

"Astaga... Bisakah kita... Istirahat sebentar?"

Sekitar sejak satu jam yang lalu, Trisha telah berlatih bela diri dasar dengan Helen. Alhasil tubuhnya penuh bekas memar dan kemerahan.

"Waktumu sedikit, orang kikuk. Kau harus menghargai tiap waktu yang ku korbankan demi mengajari mu."

Akhirnya setelah satu jam setengah menit mereka berhenti dan beristirahat. Trisha sudah merasa tidak kuat lagi. Helen itu seperti mesin penggiling daging. Dia kuat sekali.

"Mulai sekarang kau harus menjaga pemasukan makanan ke tubuh mu. Mau melakukan apa kau dengan lengan kecil seperti lidi itu?"

"Bagaimana dengan kemampuan senjata? Akankah kau membantuku juga?"

"Itu akan kuserahkan dengan dirimu sendiri. Aku rasa kau punya teman yang cukup handal untuk mengajarkan hal itu."

Trisha kemudian teringat Daren, si laki-laki Asia yang mungkin dengan senang hati bisa membantunya.

Tapi Trisha tidak terlalu yakin, ini kan kompetisi. Bisa saja Daren sibuk dengan latihannya sendiri, dan tidak memperdulikan Trisha.

"Baiklah kalau begitu aku pergi dulu, Helen. Akan kucari orang yang bisa mengajariku."

Helen melambaikan tangannya. Setelah jarak mereka menjauh lima meter dari tempat berdiri masing-masing, Helen kemudian berteriak, "Pastikan kau tidak mematahkan tangan mu!"

DEKAPANCATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang