Happy Reading!!!
Kedua anak kecil yang baru bertemu itu telah selesai menguburkan kucing yang tadinya menjadi objek perhatian mereka. Atas ide si gadis kecil mereka menguburkan bangkai kucing itu dengan beralaskan sweater pria kecil. Mungkin agak tidak masuk akal, namun itulah yang mereka lakukan.
Sekarang mereka sudah duduk di bangku taman dan bercengkrama berdua. Layaknya teman dekat yang sudah lama tak berjumpa. Hingga tak lama, seorang wanita datang menghampiri mereka berdua.
"Adek! Adek ngapain disini? Dari tadi Mama nyariin. Abang nangis tuh, Adek apain?" Wanita paruh baya itu menghela nafas saat melihat anak gadisnya yang sedari tadi dicarinya. Sedangkan anak laki-lakinya yang merupakan kembaran sang gadis itu sudah meraung-raung di rumah.
"Heheh, Adek ambil mobil Abang, Ma." Cengirnya.
"Aduhh, besok-besok jangan gitu lagi, kasian abangnya..." Ujar wanita itu mengelus rambut panjang putrinya.
Wanita itu mengalihkan perhatiannya ke arah anak kecil yang berada di depan mereka. Merasa heran karena belum pernah melihat anak itu sebelumnya.
"Ini siapa?" Tanyanya menatap anak itu.
"Ini temen Adek, Ma." Jawab si gadis kecil.
"Nama aku Eugene, Tante." Anak itu menjawab setelah sebelumnya menatap gadis kecil di depannya, seolah meminta izin.
"Eugene sama siapa kesini? Adek nggak nyakitin kamu kan?" Tanya wanita itu cemas, soalnya anaknya ini sangat nakal. Sudah tak terhitung ibu-ibu yang datang ke rumah mengadukan anak mereka yang menangis karena ulah gadis kecil itu.
"Nggak kok Tante. Malahan Adek bantuin aku." Ujarnya ikut memanggil gadis kecil di depannya Adek karena mereka belum berkenalan sama sekali.
"Ehh, ini bajunya kenapa ada darahnya? Adek juga, kenapa?" Wanita paruh baya itu semakin cemas melihat baju kedua anak itu ada bercak darahnya.
"Adek jelasin ke Mama, sayang." Wanita itu menatap wajah sang anak khawatir.
"Tadi ada kucing mati, Tante. Adek bantu aku buat nguburin kucingnya, soalnya kasian kucingnya." Jelas Eugene dengan ekspresi sedihnya membuat wanita itu menghela nafas lega. Lega, karena mereka berdua baik-baik saja.
"Syukurlah kalau gitu. Eugene kesini sama siapa? Mau Tante antar pulangnya?" Tawar wanita itu yang dibalas gelengan oleh Eugene kecil.
"Aku pulang sendiri aja, Tan." Balasnya dengan senyum menghiasi wajah tampannya.
"Yaudah kalo gitu. Hati-hati ya, sayang." Dielusnya rambut anak kecil bermata sipit itu penuh sayang.
"Eung... Nama kamu siapa?" Tanyanya saat mereka akan beranjak. Digenggamnya tangan mungil yang tadi membantunya itu.
"Gleisy." Jawab gadis kecil itu dengan senyumannya, sepertinya setelah ini mereka akan sering-sering bertemu.
***
Suara kantin begitu ricuh karena para siswa yang berdatangan untuk mengisi perut atau sekedar lepas dari pelajaran yang menguras otak. Bangku pojok kantin sudah diisi oleh sekelompok siswa-siswi yang tak kalah ribut dari yang lain.
"Elahh, ini giliran siapa yang mesen njir?!" Seorang pria berambut gondrong mengacak kasar rambutnya karena sedari tadi tidak ada yang berdiri untuk memesan makanan. Memang mereka bergantian untuk memesan makanan setiap harinya.
"Ini giliran lo, goblok!" Cetus seorang pria berperawakan tinggi. Heran dengan temannya yang satu itu, sudah salah, ngamuk pula. Ck ck ck.
"Iyakah?" Tanyanya dengan tampang watadosnya. Pria bernama Asher itu mendapat tatapan sinis dari mereka yang berada di meja itu.
"Lama-lama gue timpuk juga ni orang." Kesal pria kalem yang biasanya tak banyak bicara, Leroy namanya atau biasa dipanggil Roy oleh teman-temannya.
"Sana, Sher! Gue laper nih." Ujar seorang gadis yang kesal dengan drama para cowok itu. Gadis manis yang tingkat percaya dirinya tinggi, Alice namanya.
"Papau juga laper." Celetuk gadis mungil sembari mengelus perut mungilnya yang sudah berbunyi sedari tadi. Paula, yang biasa dipanggil Papau oleh teman-temannya. Gadis mungil yang imut dan sedikit lemot. Gadis polos yang harus dijaga kelestariannya, apalagi dari teman-temannya yang kalau ngomong suka nggak difilter itu. Entah apa salahnya hingga masuk ke circle mereka yang jauh berbeda dengan dirinya.
"Buat dedek gemes apasih yang nggak? Dedek gemes mau pesen apa?" Tanya Asher dengan suara dilembut-lembutkan.
"Huek, jijik gue njir." Balas pemuda yang tadi mengatai temannya itu goblok. Austin namanya, anak kesayangan para guru karena otak pintarnya. Pria itu juga jarang membuat masalah di sekolah, yang diketahui guru-guru.
"Austin jangan kasar-kasar ngomongnya." Tegur Paula yang tak suka teman-temannya berkata kasar. Soalnya ia juga tidak diperbolehkan berkata kasar oleh mereka, katanya nggak baik.
"Yang nggak boleh itu cuman Papau, soalnya masih kecil." Kilah pria itu mencari alasan.
"Papau udah besar tau." Cemberut gadis mungil itu.
"Udah..udah.. Khusus hari ini yang pesenin kita makanan Bang Vero. Sekalian ditraktir." Putus seorang gadis yang sedari tadi sibuk dengan handphone-nya. Pria yang disebut namanya, membelalakkan matanya tak terima.
"Apaan, Dek? Tanggal tua nih.." Melasnya kepada sang adik.
"Nggak ada, ini tuh sebagai hukuman Abang karena kalah main kemaren." Ujarnya songong.
"Masih ada lagi yang lain, jadi jalanin aja dulu." Tambahnya sok kalem. Sang pria yang tak lain adalah abang kembarnya itu dengan terpaksa pergi ke penjual kantin untuk memesan makanan mereka. Tak perlu bertanya karena ia sudah tahu apa yang akan mereka pesan, saking seringnya mereka makan bersama di kantin.
"Wahh, the best emang Xaver. Sering-sering aja kek gini Xav." Asher memberikan dua jempol kepada Vera. Pria itu lebih suka memanggil Vera dengan sebutan Xaver. Tidak salah sih, diambil dari depannya yaitu, Xavera.
"Dasar modal gratisan!" Cibir Alice yang menjunjung tinggi harga dirinya. Gadis songong itu sering berlawanan dengan Asher. Satunya tak tahu malu, satunya gengsian.
"Heh, daripada lo modal gengsi. Mending kek gue ini, ada apanya." Balasnya tak mau kalah.
"Apa adanya, dodol!" Celetuk Austin kesal.
"Nah, itu maksudnya." Tambahnya sok kalem. Malu woi!
"Diem lo pada! Ntar gue ceburin juga lama-lama." Pria kalem yang tak banyak bicara itu selalu menjadi penengah jika teman-temannya sudah pada adu mulut.
"Vera, nanti kita ke jalan yuk!" Ajak gadis mungil dengan pipi kemerahan itu. Menggoyangkan tangan Vera supaya atensi gadis itu teralihkan dari gawai di tangannya.
"Okay!" Balasnya mengacungkan jempol setelah meletakkan gawainya di atas meja.
"Yeay, Papau udah lama nggak main." Pekiknya senang.
Seorang pria di meja itu tak mengalihkan pandangannya sedari tadi barang sedetik pun dari gadis yang dipandangnya. Menurutnya gadis itu lebih indah untuk dipandang dari apa pun yang ada di muka bumi ini. Memperhatikan ekspresi gadis itu saat berkutat dengan gawainya, begitu pun saat tangannya digoyang-goyangkan oleh Paula, rasanya ingin dirinya yang berada di posisi itu, menggenggam tangan yang pastinya pas digenggamannya itu.
***
02-01-23
KAMU SEDANG MEMBACA
3X
Teen Fiction"Kenapa nggak angkat telpon?" "Dari kapan kamu disini?" "Jawab aja! Kenapa telponnya nggak diangkat?" Pria itu mengacak rambutnya hingga berantakan yang malah menambah kesan sexy di mata cewek-cewek yang berada di taman itu. Berbeda dengan empunya y...