4.

133 16 6
                                    

Third POV

Pagi yang dingin seperti biasa dan Tala akan menjemput Bian seperti biasa. Kadang dengan motor, sepeda, atau naik angkutan umum.

Kali ini motor menjadi pilihan Tala. Dia tak mau kerepotan dengan punggungnya yang masih nyeri. Memang tidak meninggalkan bekas melepuh, tapi kulitnya menjadi kemerahan seperti setengah matang.

"Biaaann, main yuuukkk."

Pintu rumah bercat putih itu terbuka menampilkan sang pemilik rumah. Dia Arya, kakak Bian yang sudah berpakaian rapi.

"Eh Tala, Biannya sakit. Gue boleh minta tolong gak buat jaga Bian?" pinta Arya yang tampaknya tengah terburu-buru.

"Boleh, Bang. Emang lo mau kemana?"
Katakanlah Tala tidak sopan. Tapi dua orang beda usia itu terlampau dekat dan sudah 'klop'. Lagipula mereka tak mempermasalahkannya.

"Gue mau beli bahan kafe, udah pada habis. Nanti keknya Biu dateng buat liatin kalian juga. Punggung lo masih sakit kan? Sekalian aja bolos"
Kali ini Arya menatap Tala yang sudah berdiri di hadapannya.

"Kok tau? Bian ya?" Tidak perlu menebak pun Tala sudah tau.

"Iya lah. Thanks ya udah jagain Bian. Gue duluan."
Arya mengusap kepala adik kecilnya itu sebelum pergi dengan motornya. Tala dan Ben sudah banyak membantunya. Dua kakak beradik itu sudah menjadi bagian penting bagi hidupnya dan adiknya.

Tala melambai sebentar pada Arya sampai pemuda itu menghilang di ujung tikungan. Setelahnya dia masuk rumah yang begitu familiar baginya.

"Hubungin walas kesayangan dulu, deh."

Setelah menghubungi walasnya, Tala segera ke kamar Bian untuk melihat keadaan temannya itu.

'Tok tok tok'
"Biaaann, gue masuk yaak. Permisiii."
Tala memasuki pintu dengan stiker bintang itu. Ruangannya begitu gelap, hanya ada selintang cahaya matahari yang menerobos masuk.

Dia bisa melihat gindukan selimut di ranjang Bian, dan bisa dipastikan kalau pemilik kamar terbungkus di dalamnya.

"Bian, hei. Udah makan sama minum obat?" tanya Tala sembari menyejajarkan kepalanya di dekat wajah Bian. Dia bisa merasakan rasa hangat dari embusan napas Bian.

"Hmmm? Ini Ta?"
Bian membuka matanya perlahan saat mendengar ada suara yang familiar.

"Iya, udah makan belum?" tanya Tala sekali lagi untuk memastikan.

"Belum. Gak mau makan, gak enak," gumama Bian pelan. Dia lemas, sungguh.

"Dih, gak boleh gitu. Lo harus makan terus minum obat. Gue bikinin bubur dulu. Harus makan biar cepet sembuh. Tidur lagi, ntar gue bangunin."
Tala meraba dahi Bian untuk memastikan suhu tubuhnya. Lumayan tinggi.

"Perasaan kemarin gue yang dibuli, malah lo yang sakit," kata Tala pelan sambil mengusap dahi Bian.

Melihat Bian yang kembali terlelap, Tala memilih untuk segera ke dapur. Dengan seragam sekolah yang masih melekat padanya, dia meracik bumbu-bumbu untuk memasak bubur. Meskipun nantinya hanya hambar yang dirasakan oleh Bian.

Semangkuk bubur panas sudah selesai. Tala mencari obat penurun demam dan menyediakan segelas air putih. Dengan perlahan dia membawa nampan yang penuh itu ke kamar Bian.

"Bian, ayo makan dulu."
Tala mengambil kursi belajar milik Bian. Meletakkannya di dekat ranjang agar memudahkannya merawat Bian.

"Suapin," pinta Bian dengan mata yang masih menutup. Kepalanya sangat pusing. Dengan sedikit bantuan Tala, dia duduk bersandar di kepala ranjang.

Music LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang