1.

219 17 0
                                    

Jeffery POV

Pagi hari yang tenang seperti biasanya. Mandi, membuat sarapan, dan beres-beres. Aktivitas yang selalu kulakukan selama 3 tahun belakangan. Hidup di apartemen sendirian membuatku terbiasa dengan kemandirian dan kesepian.

Mungkin rutinitas membosankan itu akan berakhir mulai pagi ini. Dengan kemeja dan celana bahan yang sudah kugosok semalam, aku mematut diriku di depan cermin fullbody di kamarku.

"Tampan." Baiklah, aku memang narsis. Tapi, apa salahnya memuji diri sendiri. Lagipula tidak ada yang rugi.

Membenahi sedikit rambut panjangku sebelum keluar dari apartemen membosankan ini.

"Masih ada waktu sejam lagi. Enaknya ngapain, ya?"
Mungkin aku terlalu bersemangat, sampai-sampai bersiap terlalu cepat.

"Ke studio aja lah. Daripada gabut."
Katakan saja aku gila. Bicara sendiri di lorong apartemen yang kosong. Harap dimaklumi, efek 3 tahun hidup sendirian.

____________________________________


Aku punya studio musik pribadi. Bahkan sudah kuanggap rumah keduaku. Menghabiskan waktu membuat lagu atau sekadar membuat formula melodi baru.

Fyi, aku lulusan sekolah musik, dan menganggur selama dua tahun. Dengan waktu sebanyak itu, aku membuat banyak lagu. Ya, walaupun hanya untuk konsumsi pribadi saja.

Beruntung kakakku punya banyak koneksi. Akhirnya, ijazahku bisa berguna. Menjadi guru musik di sebuah SMA tidak buruk juga.

"Heyyo, Bro. Lama gak ketemu." Baru saja keluar dari mobil, ada saja yang menyapaku.

"Heh, Lucas. Pakabar anjir."
Kami berpelukan sebentar, melepas rindu sejenak.

Dia Lucas, teman kuliahku dulu. Si bongsor yang pedenya keterlaluan.

"Gue baik. Rumah lo ada di sekitar sini?" tanyanya. Aku mengajaknya untuk duduk di kursi depan studio. Tidak enak bercakap sambil berdiri.

"Iya, apartemen deket sini."
Perbincangan kami mengalir begitu saja. Mengingat kembali masa-masa kuliah yang lumayan berat.

Dari banyaknya teman yang kupunya, Lucas menjadi satu-satunya orang yang paling dekat denganku. Dia tau semua ceritaku semasa kuliah, manis pahitnya. Pembawaannya yang humoris terkadang bisa membuatku lupa dengan semua masalah yang ada, walaupun hanya sementara. Tapi, sungguh. Dia selalu bersamaku bagaimanapun keadaanku.

"Lo pindah bukan karena lari, kan?"
Pertanyaan singkat dari Lucas membuatku bungkam. Sudah kubilang, Lucas tau semua ceritaku.

"Gue rasa, bukan?"
Iyakah? Akupun tidak tau.

"Gue kenal lo bukan sehari dua hari ya, bangsat. Gue rasa udah cukup lo lari. Kejadiannya udah lama, gak baik berlarut-larut."
Sesak. Rasanya begitu sesak. Apakah aku sepengecut itu?

"Gue tau lo bisa. Jepri yang gue kenal orangnya kuat, gak letoy kek gini."
Lagi. Lucas selalu bisa membuat suasana hati berubah drastis. Awalnya dibuat mellow, ujung-ujungnya dibuat receh lagi. Agak biadab memang.

Dia menepuk pundakku dua kali sebelum beranjak dari duduknya. "Gue mungkin gak selalu ada di deket lo, gak selalu ada buat lo. Tapi inget, lo gak sendirian. Cari gue kapanpun lo butuh gue."

"Bangsat, jadi terharu gue. Makasih, ya."
Meskipun dengan umpatan, tapi ucapan terima kasihnya tetap tulus.

"Yoi, selow aja. Nomor ponsel gue masih sama kek dulu. Duluan ya," pamitnya sambil melambai ke arahku.

Bertemu Lucas tidak buruk juga. Dia menyadarkanku akan satu hal. Berlari terlalu jauh untuk suatu hal yang sebenarnya bisa dihadapi bisa membuatmu lupa arah jalan pulang. Dengan alasan konyol aku meninggalkan rumahku, temanku, dan saudaraku. Minim komunikasi membuat hubunganku dengan kakakku sedikit merenggang, kami hanya beberapa kali bertukar kabar. Itupun bisa dihitung jari selama 3 tahun ini.

Music LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang