5.

170 20 5
                                    



Bian POV




Sudah lebih dari seminggu, dan kegiatan sekolahku berlangsung damai. Bahkan terlampau damai bagiku. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda Lian yang membuliku atau Tala. Bahkan dia tidak menampakkan wajahnya di hadapanku. Apakah aku tertinggal sesuatu?

Kami bertiga menikmati makan siang kami yang terlambat. Entah Nanda pergi kemana. Katanya ke kamar mandi, tapi sampai makanannya dingin belum kembali.

"Eh, mereka kok liatin kita ya?" kataku saat melihat meja sebelah memandangi meja kami.

"Udah, biarin aja. Mending makan," sahut Tala yang menikmati batagornya.

"Ih, beneran. Aku ketinggalan sesuatu? Soalnya aneh banget. Lian udah gak ganggu lagi, terus sekarang diliatin orang. Aneh sumpah."

"Eh, boncel. Lo gak bilang ke Bian?" Kali ini Pras menunjuk Tala dengan garpu baksonya. Tala yang duduk di sampingku hanya menggeleng dengan mulut menggembung penuh. Lucu.

"Lo aja yang cerita. Kan yang tau kronologinya lo sama Nanda."

"Iya juga yak. Yaudah, gua ceritain aja."
Kenapa gak daritadi coba. Malah debat dulu. Gak penting.

Pras mulai menceritakan kronologinya. Dia bilang saat itu kejadiannya ada di kantin. Tiba-tiba Lian dan pasukannya dipanggil ke BK. Karena penasaran, Pras dan Nanda membuntuti mereka. Intinya menguping lah. Dan Pras bilang ada suara orang marahin mereka.

"Gue yakin kalo itu Pak Jeff yang marahin mereka. Terus mereka dihukum bersihin perpustakaan. Tamat deh."
Aku menoleh ke Tala yang tengah menyeruput es tehnya nikmat. Pantas pipinya gembul, hidupnya makan terus.

"Kamu gak bilang ke aku," kataku kesal sambil memukuli bahunya.

"Ya maap. Gue kira lo udah baca di gc."
Bodo amat. Aku masih kesal.

Tiba-tiba dari kejauhan terlihat Nanda berlari tergopoh menuju meja kami. Di tangannya membawa selebaran yang aku yakin dia menyobeknya dari mading.

"BIAAANNN."

"Lo udah sampe, gak usah teriak gitu. Gak ada bagus-bagusnya juga suara lo," kata Tala saat Nanda datang sambil berteriak. Okelah kalau cuma teriak, tapi ini sambil gebrak meja. Untung itu meja gak dibalik juga sama Nanda.

"Kenapa si, berisik tau."
Kali ini Pras yang bertanya. Akupun setuju. Semua mata kini memandang meja kami. Memalukan. Aku tidak suka jadi pusat perhatian.

"Nih, baca dulu."
Nanda menyodorkan selebaran yang ia bawa. Sebuah brosur yang sangat kukenal.

Lomba festival musik, lomba yang begitu aku idam-idamkan. Sebuah tiket cuma-cuma untuk bisa masuk ke universitas impianku, ke jurusan idamanku. Aku sangat menginginkannya.

"Janji gak pas liburan semester."
Celetukan Tala membuatku tersadar dari lamunan sejenak. Melihat tanggal yang tertera. Benar kata Tala, lombanya saat liburan semester.

"Yok bisa yok. Daftar aja, suara lo gak buruk-buruk banget," kata Nanda yang duduk di depanku.

"Iya, lo juga bisa main gitar dikit. Gak usah beli, deh. Tala kan punya gitar, pake aja."
Kali ini Pras menimpali Nanda. Tala yang namanya disangkut-pautkan hanya diam saja. Tidak menolak atau menyetujui. Aku jadi takut.

"Heh boncel, diem aja lo. Tipes?"

Tala hanya menggeleng kecil. Tala yang diam sedikit menakutkan, jujur saja. Aku takut dia tidak mendukungku.

"Lo butuh kursus musik sih. Kemampuan lo masih terbilang terlalu basic buat lomba segede ini. Nanti kita cari bareng guru musik yang cocok buat lo, okey?"

Music LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang