3.

121 16 1
                                    



Third POV






Kelas begitu tenang hari itu. Semuanya diam memperhatikan coretan abstrak pada papan tulis. Fisika, materi penguji fisik dan mental.

Disaat teman sekelasnya begitu fokus, entah mengerti atau tidak, Tala memilih untuk tidur sebentar. Bangkunya berada di barisan paling samping pojok. Sedangkan Bian berada di bangku paling depan dekat meja guru.

Baru akan menapaki mimpi, teriakan sang guru mengacaukan skenario bunga tidurnya.

"Talaaaa, saya di sini bukan untuk mendongengi kamu ya. Ayo maju, kerjakan soal ini. Biar semangat lagi," seru guru perempuan itu.

"Dih, mana ada ngerjain Fisika bikin semangat," gerutu Tala dengan muka yang cemberut, menunjukkan aksi protesnya. Bian yang melihat temannya itu hanya tertawa saja. Drama yang biasa antara guru dan Tala.

"Talaaaaaaa."

"Iya, Bu Nita yang cantik. Sabar dulu dong. Orang sabar dapat jodoh ganteng kayak saya."
Ceplosan Tala memancing seruan teman kelasnya yang lain. Ruangan itu diisi dengan kericuhan dalam sekejap.

"Saya mana mau sama bocah modelan kayak kamu. Bisa darah tinggi saya. Semuanya diam dulu, ya. Biar bocah yang katanya ganteng ini maju dengan gagah."
Bukannya diam, sorakan terus terdengar sepanjang Tala melangkah maju. Tala pun tak tinggal diam. Dia melambaikan tangannya sembari tersenyum, layaknya aktor di Red Carpet.

Begitu sang guru menulis soalnya di papan tulis, Tala merubah rautnya menjadi serius kali ini. Tidak ada senyum konyolnya seperti beberapa menit lalu.

"Njir, materi optik. Soalnya beranak pula," gumam Tala melihat tulisan di papan.

"Nah, anak ganteng. Silahkan dikerjakan."

Tala segera mengerjakan soal yang diberikan. Coret sana coret sini. Bian ikut menghitung di tempatnya, siapa tau Tala perlu bantuan.

Separuh papan sudah terisi, tulisan Tala juga semakin sulit dibaca layaknya tulisan dokter. Sesekali berjinjit untuk mengisi papan bagian atas.

"Dua lima dibagi sepuluh sama dengan dua koma lima. Jadi pembesaran angularnya adalah 2,5 kali. Selesai."
Tala mundur selangkah untuk mengamati hasil kerjanya.

"Eh, ini salah. Harusnya ditambah."
Dengan segera dia memperbaiki kesalahannya. Bian melihat Tala sambil tersenyum senang. Tidak sia-sia dia mengoceh panjang lebar agar Tala mau belajar. Sebenarnya Tala itu cerdas, hanya saja dia malas.

"Baik, kamu boleh duduk. Terima kasih"

Begitu Tala sampai di kursinya, bel istirahat berbunyi nyaring. Bu Nita berpamitan, disusul para siswa yang barhamburan keluar kelas.

Tala menelungkupkan kepalanya ke meja, tanpa menghuraukan grusak-grusuk teman-temannya.

"Tala, ayo ke kantin," kata Bian begitu sampai di dekat meja Tala.

"Biaaann, otak gue ngebul. Pusiiingg," keluh Tala, merengek pada Bian layaknya bayi.

"Ya makanya ayo ke kantin. Udah ditunggu Nanda sama Pras."
Bian menggeret Tala yang dalam mode lemah, letih, lesu itu. Badannya yang bongsor tidak lantas membuat Bian menyerah. Hei, dia itu kelaparan. Kakaknya tidak sempat membuatkannya bekal. Dan mengantre di kantin adalah hal yang paling membosankan. Rengekan Tala tidak akan menyurutkan tekadnya untuk makan soto di kantin.

Setelah perjuangan yang lumayan, akhirnya mereka sampai di kantin. Nanda yang melihat Bian menggeret Tala segera melambaikan tangannya agar dua temannya itu menghampirinya.

"Nah, sampai. Tala, beliin aku soto sama es teh," ujar Bian setelah mendaratkan pantatnya di hadapan Nanda.

"Loh, kok gue. Beli sendiri dong," sahut Tala tak mau kalah.

"Kamu bikin aku capek, ya. Geret kamu yang bongsornya gak ketulungan," sungut Bian dengan muka garang. Mmmm, tidak juga sih. Malah mirip kucing kalau kata Tala.

"Dih, ngambek. Maaf deh. Janji gak lagi," kata Tala mengalah sambil mengacak surai Bian pelan sebelum menuruti perintahnya. Daripada mogok ngomong yakan.

"Tala kenapa? Suntuk gitu."
Nanda membuka percakapan sesaat setelah Tala pergi.

"Biasaa, otaknya dipaksa kerja rodi."
Nanda dan Pras yang mengerti hanya tertawa saja. Sudah biasa dengan tabiat Tala.

Sembari menunggu Tala yang memesan, mereka bertiga asyik dengan dunia mereka sendiri. Sesekali menyahut apabila ada yang menyapa.

"Bian, awaaass," teriak Pras tiba-tiba.
Bian yang terkejut segera menoleh begitu melihat semua mata tertuju padanya.

Di belakangnya ada Tala yang berdiri tegap, dengan seragam yang basah di bagian belakang.

"Cih, pengganggu."
Lian, pemuda yang akan menyiram Bian dengan segelas air panas. Dia berdecak kesal saat rencananya digagalkan oleh Tala.

"Bajingan ini belum puas ternyata. Bawa-bawa pasukan lagi. Lo semua dibayar berapa jadi pengikut orang gak jelas ini? Manusia gak punya harga diri kok diikutin," kata Tala tanpa rasa takut.

"Mulut lo dijaga ya, bangsat. Anak haram sama pembunuh emang cocok jadi temen."

"Aduduh, anjingnya nyalak banget. Berisik tau."

Tala dan Lian berpandangan sengit. Tidak ada yang berniat melerai ataupun memanggilkan guru. Sedangkan Bian, dia sudah hampir menangis.












____________________________________














"Lepasin gue. Gue mau hajar muka songongnya. Pras anjir."

Tala berontak dari seretan Pras. Wajahnya sudah babak belur lagi. Padahal bekas yang lama masih menyisakan memar kebiruan.

"Lo udah bonyok, tolol. Emangnya punggung lo gak sakit disiram air panas?" ujar Pras sambil menyeret Tala yang masih berontak. Sedangkan Bian masih dipeluk Nanda di sampingnya.

"Perih dikit, baru kerasa sekarang."

Perkelahian antara Tala dan Lian berlangsung dengan sengit. Pras yang ingin membantu tertahan oleh tangan Nanda. Beruntung ada Jeffery di sana. Niat ingin membeli batagor terhenti begitu melihat ada perkelahian.

Begitu ada kesempatan, Pras segera menarik Tala. Tak peduli kalau anak itu berontak kuat. Perjalanan menuju uks dihiasi dengan umpatan Tala yang begitu beragam.

"Sorry, gara-gara aku,  kamu luka lagi," suara lirih Bian sontak membuat Tala berhenti berontak.

"Hey, its okay. Daripada lo yang kesiram air panas terus gua yang dihajar Bang Arya. Bogeman Lian gak ada apa-apanya," hibur Tala dengan senyum lebarnya.

"Jangan nangis. Mending bantu obatin gue, okay?"
Bian hanya mengangguk saat merasakan telapak tangan hangat milik Tala ada di kepalanya.

"Gini kek dari tadi. Drama mulu hidup lo. Lo sama Bian ke uks duluan. Gue mau ambil baju ganti buat lo," ujar Pras melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Tala.

"Hehe, makasih yak. Nanda, lo ikut suami lo aja. Takutnya caper ke betina."

"Suami pala lo kotak. Bian, nanti luka Tala siram aja pake alkohol. Gedeg banget gue."
Nanda segera pergi dengan menghentakkan kakinya, disusul Pras yang menyusul langkahnya. Tala dan Bian menatap calon pasangan itu sambil tertawa keras. Lucu sekali menggoda Nanda yang tempramental.

Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang mengamati di balik tembok. Menatap mereka hingga dua bocah itu hilang di balik pintu uks. Sosok itu membuka ponselnya, menghubungi seseorang.

"Halo, aku butuh bantuanmu."




____________________________________

Tbc

Hayoloh, sapatu. Btw aku gak punya gambaran pasti buat Lian. Terserah imajinasi kalian mau liat Lian sebagai siapa.
Stay tune yakk:)

Music LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang