"Ini tahun terakhir kamu, lho, Bil. Kalau nggak mau tujuh tahunmu sia-sia, cepat selesaikan tesisnya!" Pembimbing tesisku, Prof Sia, begitu ia biasa dipanggil di departemen ekonomi dan bisnis universitas ini, memberikanku peringatan serius.
"Siap, Prof. Saya usahakan," balasku dengan anggukan serius.
Beliau mengangguk, tapi kemudian mengulang lagi ucapannya. "Saya tunggu kabar soal data, terus revisian ini saya minta minggu depan sudah selesai."
Aku mengiyakan lagi.
"Nabil, minggu depan, ya. Saya mau hasil revisinya, dan data, oke?" Seolah masih tidak puas dengan jawabanku Prof Sia kembali mengulang. Kali ini dengan nada gemas dan penekanan yang amat lembut membuatku hampir terkekeh kalau saja peringatan itu tidak serius.
"Iya, Prof."
Prof Sia mengakhiri dengan gelengan pasrah.
Kalau membimbingku bukan sebuah kewajiban, mungkin dosen yang bulan lalu menerima penghargaan The Most Outstanding Publication atas publikasinya tentang sistem keamanan perbankan di era-digital ini sudah mendampratku dari kapan tahun. Tapi untungnya beliau terlalu sabar sehingga tidak melakukannya seperti yang dilakukan dosen-dosen pembimbingku yang lain.
Masalahnya apa? Tesisku yang sudah enam tahun tidak kunjung rampung.
I know, idealnya pascasarjana ditempuh selama (hanya) dua tahun. Kuliah sejumlah sks yang ditentukan; semester tiga ujian proposal; semester empat seminar hasil dan ujian tesis; lulus. Enam tahun memang kebangetan. Batas maksimal masa studi pascasarjana saja cuma empat tahun. Masa jabatan DPR saja cuma lima tahun.
DPR kalau ingin menjabat lebih dari lima tahun harus mencalonkan diri di pemilu lagi-hiraukan opsi merubah undang-undang sendiri. Itu pun kalau setoran ke parpol masih lancar dan amplop buat suap suara masih ada anggaran. Aku sendiri sekarang cuma punya sisa waktu satu tahun buat merampungkan tesis. Kalau tahun ini luput lagi, sudah, tamat, harus mulai dari pendaftaran kuliah lagi (kalau memang masih menginginkan gelar master, kecuali master kungfu, atau master chef).
Tim pembimbing tesis di prodiku, Ilmek*, biasanya terdiri dari tiga dosen dengan salah satu dosen menjadi ketua dan dua lainnya menjadi anggota. Tim pembimbing tesisku diketuai oleh Prof Imanu, akademisi berprestasi yang mengabdikan karirnya untuk meriset bidang moneter di Asia-Pasifik. Lalu sebagai anggotanya ada Prof Robertus dan Prof Sia, dua akademisi yang tak kalah berprestasi dan berkontribusi pada keilmuan ekonomi maupun praktik di dunia nyata. Mereka semua orang-orang hebat dan penting.
Asisten Prof Robertus, Pak Lindu, pernah memberiku kelakaran seperti ini, "Senior-senior saya itu orang-orang hebat di dunia akademisi, Bil. Portfolio mereka nggak ada yang merah sebelum jadi pembimbing kamu." Nadanya sih bercanda, tapi intensinya aku tahu lah.
Aku tahu aku memang kebangetan. Enam tahun belum berhasil merampungkan S2 itu memang kebangetan, tapi aku punya alasan.
S2-ku tidak kunjung selesai setidaknya karena tiga alasan. Pertama, karena aku tetap bekerja di sebuah perusahaan konstruksi terkemuka. Tuntutan pekerjaan selama ini sudah bikin aku mengajukan cuti sampai enam kali. Dulu sebenarnya bokap menyarankanku agar resign selama menjalani studi, tapi aku tidak pernah mengikuti saran itu. Aku nggak rela melepas pekerjaan yang sudah mapan, sementara tabungan sendiri belum sampai seperempat jalan. Lagi pula apa kabar cicilan mobil kalau aku jadi pengangguran? Duit siapa pula untuk bayar biaya S2 di Pancasakti yang tidak murah kalau aku tidak bekerja?
Kedua, karena tim pembimbing tesisku sangat susah dipuaskan. Mengingat prestasi para akademisi ini, tidak mengherankan kalau mereka punya persyaratan se-ketat kaus mas-mas gym berdada besar buat tugas akhir bimbingannya. Itu benar-benar memberatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
L*ve-thesis
RomantikCek ombak Part yang nggak ada berarti sudah pindah KK. Mandeg selama lima tahun, ini tahun terakhir Nabil untuk merampungkan tesisnya. Sayangnya, perkara tesis memang nggak pernah mudah untuknya. Ketua pembimbingnya mengundurkan diri saat bayangan D...