📝 BAB 2

551 93 16
                                    

"Kaina itu lho, Bil. Dulu tetangga kita, tapi terus pas kamu SMP—kayaknya, ya, keluarganya pindah ke Bandung."

"Yang bapaknya eksportir briket itu, bukan, sih, Cantik?" tanggapku pada cerita nyokap lewat telepon dengan pandangan tak lepas dari layar laptop.

"Iya! Ingat kan? Dulu kalian sering lho pulang sekolah bareng. Mau, ya, Bil? Ini kayaknya jodoh kamu deh."

"Ya, gimana? Nabil kan masih di Solo ini."

"Ya, kamu pulang dong! Udah lama juga kamu nggak pulang."

Kali ini aku nggak tahan mendecak. Padahal baru awal bulan kemarin aku pulang dan kita makan sate lilit berdua.

Kantorku ini adalah salah satu kantor divisi sebuah perusahaan konstruksi terkemuka yang berpusat di Jakarta. Meski sehari-hari berdinas di sini, aku juga kerap ke pusat untuk bertemu pimpinan bidang keuangan. Dua bulan sekali setidaknya aku pasti ke Jakarta dan selalu menyempatkan diri ke rumah. Memang ini si cantik lagi hiperbola saja agar aku setuju sama rencananya.

"Bil, gimana? Tanggal berapa kamu ke Jakarta? Pokoknya bulan ini sebelum dia balik ke Singapore lagi."

Aku diam sebentar sambil memijat pangkal hidung. "Tanggal dua puluh lima ke atas deh, Ma," putusku lalu kembali mengunduh file lain yang masuk ke email, setelah file sebelumnya selesai kucek.

"Ini tanggal berapa, sih?"

"Tujuh, Cantik."

Nyokap mungkin lagi menimbang-nimbang. "Ya sudah, tanggal dua puluh lima, ya?"

"Nanti tanggal dua puluh Nabil kabari lagi pastinya."

"Yang pasti aja tanggal berapa?" tegas nyokap mulai galak.

Aku menahan tawa setengah kesal. Sepertinya, akal bulus sudah terendus. "Nabil belum bisa mastiin, tapi pokoknya habis tanggal dua puluh lima."

"Alah, ini mah kamu cuma iya-iya aja biar Mama cepet nutup telepon. Mama nggak mau ah, Bil."

"Ya, Mama nelepon pas Nabil kerja."

"Bil, ini tuh udah lewat isya, harusnya kamu tuh sudah di kos, istirahat lah atau mengerjakan tesismu. Ini kok masih kerja aja. Kamu ini dari zaman karyawan biasa sampai sudah jadi manager masa nggak berubah-berubah juga jam kerjanya? Aneh."

Aku reflek tertawa. Bukan cuma ucapan nyokap yang benar dan lucu, tapi kenyataan juga begitu. Dua bulan sebelum wisuda aku sudah mulai bekerja di kantor ini dan bertahan sampai sekarang. Dari karyawan probation, lalu jadi karyawan tetap, lima tahun tahun kemudian menjadi asisten manajer, dan dua tahun yang lalu diangkat menjadi manajer karena manajer sebelumnya ditarik ke pusat menggantikan manajer di pusat yang menjadi direktur keuangan.

Mengingatnya, aku jadi menghitung, ternyata udah lebih dari sepuluh tahun bekerja di kantor ini. Kerasa cepat padahal lama banget.

Kadang masih nggak menyangka, padahal dulunya aku ingin bekerja di sektor perbankan, tapi kesempatan pertamaku di dunia kerja malah diterima di perusahaan ini, perusahaan konstruksi. Masuk dunia kerja pertama kali dulu aku murni orang ekonomi. Benar-benar asing dengan dunia konstruksi, kecuali materi dari kelas evaluasi proyek yang kuambil pada semester lima dan enam. Satu tahun pertama bekerja seperti burung salah sangkar. Tahun kedua nggak banyak bedanya, cuma aku sudah nyambung ketika ngobrol dengan para estimator dan sudah familier dengan dokumen penawaran.

Kantor ini adalah idamannya anak-anak teknik sipil. Di divisiku, divisi keuangan saja, tiga dari delapan orangnya juga anak sipil dan berpengalaman di dunia konstruksi. Ingat banget dulu aku kerap merasa rendah diri berada di antara mereka. Meski aku berada di divisi yang nyambung dengan background pendidikanku, tetap saja rasanya salah tempat.

L*ve-thesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang