📁 BAB 35

581 78 87
                                    

Tujuh tahun—nyaris tujuh tahun bulat—aku menempuh studi pascasarjanaku, tapi lucunya, yang menempel lekat di ingatanku sekarang malah cuma masa-masa setahun terakhir seolah studi pascasarjanaku benar-benar baru dimulai tahun lalu. Tahun lalu itu sewaktu ketiga dosen pembimbingku mulai membawa-bawa kata DO ketika menyuruhku cepat merampungkan tesis. Setahun lalu sewaktu aku sudah setengah pasrah, ibarat kata aku cuma menunggu kapan para dosen pembimbing mengalah dan mau menggunakan ideku untuk mengurangi variabel yang datanya sulit kudapat, dan kalau nggak mengalah juga, ya sudah. Dan hampir setahun lalu sewaktu Prof Imanu mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua pembimbingku, kemudian aku dipertemukan dengan Magna—dosen perempuan bertangan dingin, wataknya keras, cukup menyebalkan, dan pongah, tapi dia juga yang menyelamatkanku dari DO dan mengubah beberapa hal minus dari diriku that gratefully now she is my significant other.

Seperti yang kubilang, ingatanku yang memendek ini lumayan lucu, dan seperti biasa, hal lucu nggak gampang hengkang dari kepalaku, layaknya hal porno—coret. Alhasil, hal lucu itu sering kupikirkan, nggak setiap saat juga sih, cuma kerap muncul saja di tengah malam di tengah aku sedang membaca atau setengah melamun sampai akhirnya aku menemukan satu hipotesis; kukira karena aku sempat 'mengabaikan' studi dan tesisku sebelum satu tahun yang lalu. 

Sejak tesisku mentok di bab tiga sekitar lima tahun lalu; aku kesulitan mendapat data bank yang confidential, belasan narasumber sudah kutemui untuk kumintai bantuan mendapatkan data itu, sayangnya nggak ada satu pun narsum yang bersedia memberiku akses untuk mendapatkan data tersebut. Di lain sisi, para dospem yang sudah terlanjur menyukai ide penelitianku kekeuh data yang sulit itu harus ada di dalam penelitianku. Jika nggak ada data itu, penelitianku nggak bisa dilanjutkan, tapi dengan sama memaksanya dospem juga mengharuskan penelitianku itu dirampungkan. Ibarat berdiri di antara dua tembok yang mengapit tubuhku, aku mati langkah. Mau maju mentok, mundur kejedot, jalan kepiting nyamping pun kakiku terlanjur terjepit. Tesisku stuck di bab tiga dan lama-lama kondisi stuck itu bikin aku malas mengerjakan tesis.

Ya, semua di mulai dari situ. Pakai proksi untuk data yang confidential nggak diperbolehkan, mengubah kerangka penelitian nggak disetujui, minta dibantu akses pada data juga nggak diberi. Aku merasa usahaku sudah banyak, banyak banget, tapi memang dospemku saja yang tidak memberi kelonggaran sama sekali. Maka kurasa wajar kalau di titik itu aku sudah malas untuk berusaha lagi. Di titik itu aku mulai abai. Puncaknya, ketika aku harus berkantor sementara di Jakarta lalu di Medan selama hampir dua tahun, waktu itu memasuki tahun keempat studiku. Sejak saat itu, makin tidak kuurus bagaimana kelanjutan tesisku. Fokusku tertuju pada apa yang ada di depan mata dan jelas akan menguntungkanku; beradaptasi di kantor di mana aku ditempatkan dan menyelesaikan tugas-tugas baru yang bisa mendukung kenaikan jabatanku. 

Perkataan Magna benar, saking lamanya terjepit dan membiarkan keadaannya mandeg, aku menjadi makin malas mengerjakan tesisku, alhasil tesis turun dari daftar prioritasku, dan akhirnya aku sudah benar-benar kehilangan motivasi buat merampungkannya.

Hasil dari semua itu, aku akhirnya hanya menyibukkan diri pada urusan selain tesis dan mengabaikan kehidupan pascasarjanaku. Karena kuabaikan, waktu di kehidupan pascasarjanaku mengalir begitu saja, meaningless. Jalani jalani saja, diemail dospem ya kujawab, diminta datang ke kampus ya aku datang, diminta mengubah ini-itu ya kukerjakan, tapi nggak ada yang kulakukan dengan mindful. Nggak ada moment menyangkut studi atau tesisku yang tersimpan di kepala. Nggak ada yang bisa kuambil sebagai pelajaran baru. Makanya sebelum kurang dari setahun lalu—saat aku mulai dapat motivasi lagi—kehidupan pascasarjanaku terasa nggak ada kesannya sama sekali. Pantas disebut sebagai hidup-hidupan.

Sedangkan, setahun terakhir, saat aku dapat lagi motivasi dan ambisi buat merampungkan tesis, aku melewati tiap proses dengan mindful dan semua jadi terasa berkesan. Stress karena target jurnal, stress-nya menghadapi dospem baru, stress-nya membagi waktu antara urusan kantor dan tesis, bangganya tiap berhasil menyerahkan progress, bangganya bisa bangun pagi meski baru tidur pagi, ya, bahkan dari hal sekecil itu, aku mendapat kesan yang nggak mudah dilupakan dan aku pun nggak ada niat untuk cepat-cepat melupakan.   

L*ve-thesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang